Archive for the ‘ 13HariNgeblogFF ’ Category

Cut!

image

“Aku mau putus.”

Kata-kata itu terlontar begitu sempurna dari bibirnya. Seperti anak kecil yang meluncur di papan perosotan dengan sorak bahagia. Wajahnya tidak menunjukkan sesal atau kesedihan.

Detik pertama kudengar tiga kata itu darinya, aku merasa bagai melayang di luar angkasa. Hampa.

“Kenapa?”

“Jangan tanya alasannya. Selama ini aku tidak pernah meminta apapun darimu. Kali ini, aku hanya minta putus.”

Hanya. Dia bilang hanya.

Tidak tahukah dia bahwa hari-hariku hanya bercerita tentangnya? Tidak sadarkah dia bahwa wajahnya selalu bergentayangan di setiap mimpi, doa dan harapan?

“Aku sudah mengatakan apa yang perlu kukatakan. Aku pergi dulu. Maaf, siang ini aku tidak bisa mencicipi masakanmu.”

Di balik punggungku, kudengar langkahnya menjauh. Tanganku gemetar. Dapur ini terasa berputar. Pisau daging yang kugenggam hampir saja melukai tangan. Bukan. Mungkin bukan tanganku yang terluka. Tapi di dalam dada, ada hati yang tercabik-cabik. Karena sebelum hari ini, aku tahu, cintanya telah lama menjauh dariku.

“Rama …” panggilku.

Langkahnya terhenti. Lalu kami sama-sama saling memandangi. Ia memandangku tanpa hati. Aku memandangnya dengan sakit di hati.

Aku mendekat padanya. Berusaha tersenyum layaknya perempuan yang tidak rela kerapuhannya tertumpah meski telah dicampakkan dengan begitu mudahnya, “Apakah pernah ada yang mengatakan padamu bahwa kecemburuan perempuan bisa menjadi sangat menakutkan?”

Rama bingung dengan pertanyaan yang kuberikan. Aku menikmati denyut yang terlihat di lehernya. Kupeluk tubuhnya yang menegang sebagai ucapan perpisahan, “Jika kamu begitu menginginkan putus, tentu sekarang akan kuberikan.”

Tanganku terayun, bersama sebilah pisau daging yang kugenggam. Sisi tajamnya membelah pembuluh karotis lelaki sialan itu dengan sempurna.

Kamu telah mendapatkan apa yang kau inginkan, Rama. Putus. Sama seperti jalinan rindu yang terurai ketika pertama kali kau memutuskan untuk menduakanku, dengan sahabatku sendiri.

***

Soe – Timor Tengah Selatan – NTT
January 25th 2013

Tunggu Di Situ, Aku Sedang Menujumu

Kulajukan mobil dengan kecepatan biasa. Mataku nyalang mencari keberadaan polisi. Dan setelah memastikan bahwa kondisi jalan ini aman, segera kutekan tombol panggilan cepat.

“Halo … Sayang, udah selesai di salonnya? Kujemput sekarang ya.”

Terdengar suara manja dari seberang sana, “Iyaaa. Aku udah cantik, nih. Jemputnya nggak usah pake lama!”

“Ahahaha, iya, Nyah. Sepuluh menit lagi sampe. Tunggu ya,” jawabku sambil tertawa ringan.

“Iyaaah. Hati-hati di jalan, Sayang.”

Lalu sambungan telepon terputus setelah kami berdua bertukar kecupan lewat telepon genggam.

Senyumku tidak bisa berhenti mengambang. Mungkin terdampar di bibirku hingga beberapa lama. Khayalan terbinal tak berhenti berlalu lalang.

Sudah kubayangkan pergumulan paling liar bersamanya. Mungkin untuk hari ini dan beberapa hari seterusnya.

Nah, itu dia. Sangat cantik dalam balutan minidress selutut bermotif bunga-bunga. Make up-nya tampak sempurna. Pasti perlu waktu sangat lama untuk membuatnya. Tapi hanya butuh beberapa menit bagiku untuk menghancurkannya.

Kuhentikan mobil tepat di depannya. Tanpa perlu basa-basi, ia langsung melompat ke bangku di sebelahku, “Cepet amat, Yang?”

“Katanya tadi nggak pake lamaaa,” jawabku sambil melajukan kembali mobil ini. Hidungku menangkap wangi sensual. Ah, parfum kekasihku ini memang selalu menggoda.

“Hehehe iya iya … Kita makan dulu yah. Laper,” ujarnya sambil bergelayut di lengan kiriku.

Aku mencubit hidungnya dengan gemas, “Iya, Nyaaah …”

Tiba-tiba ia menepuk lenganku dengan keras. Wajahnya cemberut dan bagiku, itu sangat menggemaskan, “Iiih, apaan sih manggil ‘Nyah’ gitu? Kalo nggak ada suamiku gini, kamu itu bukan sopir!”

“Iyaaa, maaf, Sayaaang …” rayuku sambil menggenggam tangannya. Aku tahu ia tidak benar-benar marah. Lihat saja. Dalam beberapa detik kemudian, ia sudah melayangkan senyum manjanya lagi padaku.

“Ehm …yakin Mas Dito nggak akan ngganggu kita?” tanyanya sambil memilin-milin rambut.

Aku mengangguk dan tersenyum, “Tenang aja. Dapat dipastikan, liburan kita kali ini nggak akan terganggu oleh kedatangan Tuan yang tiba-tiba. Eh, aku sudah bilang kan kalo suamimu juga sedang berlibur dengan istri simpanannya?”

Kekasihku bersorak bahagia. Bahkan ia mendaratkan ciuman di pipiku. Tampaknya, beberapa hari ini akan menjadi hari bercinta yang cukup panjang.

***

Soe – Timor Tengah Selatan – NTT
January 24th 2013

[BeraniCerita #03] Jangan Kemana-mana, Di Hatiku Saja.

Aku mengenakan kemeja dengan terburu-buru. Hampir saja aku tersandung ketika memasukkan kedua kaki ke dalam lubang celana yang sama. Dengan serampangan, kurapikan rambut dengan jari-jari tangan. Ah, tetap saja berantakan.

Dan ponselku tidak berhenti berdering. Pasti panggilan rapat yang sepertinya sudah dimulai setengah jam yang lalu. Sial! Aku harus segera kembali ke kantor!

“Yang, aku pergi dulu ya. Maaf buru-buru gini. Besok, pas jam makan siang, aku ke sini lagi.”

Kupandangi perempuanku itu. Wajahnya kaku. Dingin. Tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Ah, rupanya dia marah.

Aku berjalan mendekat, mengelus pipinya yang seputih pualam dan mengecup bibirnya yang belum mau tersenyum, “Aku sih maunya nggak jauh-jauh dari kamu. Tapi aku kerja untuk masa depan kita juga, kan.”

Dia tetap bergeming. Kuhela napas panjang. Kepalaku pening memikirkan cara agar ia berhenti merajuk. Ya sudahlah, besok siang akan kubawakan sebuah hadiah istimewa. Baju atau perhiasan. Semua perempuan suka baju dan perhiasan.

Dengan gontai aku melangkah menuju pintu. Lalu berhenti sejenak dan memandang wajah perempuanku sekali lagi. Tapi dia belum mau berpaling, untuk sekedar mengucapkan selamat jalan atau hati-hati. Satu bagian di hatiku terasa pedih. Entah kapan ia akan mengerti bahwa waktuku bukan untuknya saja

Aku keluar kamar dan mempercepat langkah. Lupakan dulu masalah perempuanku. Harapanku siang ini hanya satu. Mudah-mudahan keterlambatanku menghadiri rapat tidak memberi banyak masalah pada karirku.

Tiba-tiba seorang perempuan mencegatku. Perempuan pendek dengan seragam pelayan dan riasan wajah yang tebal. Wajahnya dipenuhi senyum canggung.

“Ada apa, Mbak?” tanyaku.

“Maaf, Mas. Tolong manekin yang tadi dipinjam ke kamar pas dikembalikan dulu.”

***

Soe – Timor Tengah Selatan – NTT
January 23rd 2013

Bangunkan Aku Pukul Tujuh

image

Sunday is gloomy

the hours are slumberless

dearest the shadows I live with are numberless

“Bangunkan aku pukul tujuh pagi.”

Kalimatnya tadi terngiang-ngiang di kepalaku. Kupandangi wajahnya yang damai. Matanya tertutup. Bibirnya membentuk sebuah senyuman. Aku ikut tersenyum melihatnya. Tak perlu menembus ke dalam kepalanya untuk tahu alasannya. Aku hanya perlu melihat tangan kanan yang tak pernah dipindahkan sebuah cincin di jari manis tangan kirinya.

Kuraba alisnya yang tebal. Alis yang melekuk sempurna tanpa perlu dipahat seperti perempuan lainnya. Kiaraku cantik sekali. Ia seperti langit senja. Meskipun ia hanya muncul dalam beberapa menit, atau bahkan beberapa detik, tapi keindahannya patut ditunggu setiap hari.

Little white flowers will never awaken you,

not where the dark coach of sorrow has taken you

Dingin. Kulit Kiara dingin. Aku memeluknya di bawah selimut. Berusaha menyatukan panas tubuh kami agar Kiaraku tidak membeku.

Kusandarkan kepalaku di dadanya yang tenang. Hidungku membaui anyir darah. Mataku mendapati cairan pekat nan merah. Ada bahagia yang menyusup pelan ketika melihat sebuah luka yang menganga di dada kiri Kiara. Sudah kubilang, Kiara. Jantungmu tidak boleh berdebar kencang untuk orang lain selain aku. Tidak boleh.

Angels have no thought of ever returning you

would they be angry if I thought of joining you?

Kulirik jam tanganku. Pukul tiga dini hari.

Sudah saatnya.

Gloomy Sunday

with shadows I spend it all my heart and I have decided to end it all

Soon there’ll be prayers and candles are lit, I know

let them not weep

let them know, that I’m glad to go

Kuambil sebilah pisau yang berdarah-darah. Lalu meletakkan ujungnya yang tajam tepat di atas jantungku. Jantung yang telah melewati masa-masa sulit. Diburu cinta dan cemburu. Jantung yang hanya berpacu untukmu, Kiara. Hanya untukmu. Ia bekerja keras untuk memperjuangkan satu nama. Kiara. Perempuan yang pagi ini akan menikah dengan sahabatku sendiri.

Death is a dream

for in death I’m caressing you

with the last breath of my soul

I’ll be blessing you

“Bangunkan aku pukul 7 pagi.”

Kalimatnya tadi terngiang-ngiang di kepalaku. Kalimat terakhir sebelum ia tertidur dan kubuat ia tidak bisa bangun lagi.

Maaf, Kiara. Tidak akan ada pukul tujuh untukmu. Juga untukku.

Kita. Mati.

Darling, I hope that my dream hasn’t haunted you

my heart is telling you how much I wanted you

***

Kalabahi – Alor – NTT
January 22nd2013
[Lagu: Gloomy Sunday – Billie Holliday ]

Menanti Lamaran

Tiga hari lalu, pria itu datang. Pria dengan wajah teduh, senyum yang hangat, dan mata yang memberikan perlindungan dan rasa percaya.

Jantungku berdebar kencang seperti kuda pacu. Ia telah berjanji akan datang ke rumah. Melamarku secara khusus kepada seluruh keluarga. Sore ini, aku akan dipinangnya.

Tubuhku telah bersih dan wangi. Kukenakan baju terbaik yang kupunya serta sepasang sepatuku satu-satunya.

Pukul 15:37, pria karismatik itu datang. Dengan kalimat bijaksana, ia meyakinkanku dan keluargaku, bahwa kedatangannya adalah awal dari bahagia yang sesungguhnya.

Tak pernah aku segugup ini. Ada detak berirama yang baru ia letakkan ke balik kemejaku. Ia memelukku dan berbisik, “Pergilah ke tempat yang disepakati, Hasyim. Dan nikmati pernikahanmu, wahai Calon Pengantin.”

***

Kalabahi – Alor – NTT
January 20th 2013

Untuk Kamu, Apa Sih yang Enggak Boleh?

image

Perjalanan menuju kampung halaman tidak pernah sepilu ini. Dan hujan bukanlah kombinasi yang tepat untuk suasana hatiku saat ini. Ya ya ya, semua orang tahu, hujan adalah nyanyian pemanggil sendu. Sepertinya semua orang setuju dengan itu, dibuktikan dengan kondektur bis kota yang memilih lagu Betharia Sonata sebagai pengiring perjalanan dan hatiku yang dirundung ragu.

Beberapa hari yang lalu bapak menelepon. Memastikan bagaimana kelanjutan hubunganku dengan Raina, “Tiga tahun berpacaran. Kalian sudah cocok. Bapak dan ibu juga sudah setuju. Mengapa tidak segera menikah saja?”

Pertanyaan bapak telah menggiringku dengan paksa pada sebuah sore tiga bulan yang lalu. Ketika Raina dan aku memutuskan untuk berpisah. Berakhir. Putus.

Tidak ada yang salah dengan kami. Aku tidak selingkuh. Dan sepengetahuanku, Raina juga tidak begitu. Yang salah adalah keraguan. Rasanya ada yang tidak pas. Tidak tepat. Suatu keganjilan yang tidak bisa digenapkan dengan piihan untuk hidup berdua.

Diam-diam, aku mengartikan keraguan ini dengan tidak cinta. Seharusnya, cinta membuat segala yang mustahil menjadi mungkin. Tapi nyatanya, cintaku pada Raina tampak mustahil membuatku yakin.

Tiba-tiba bis bergoyang. Getarannya bisa saja membuat seorang ibu hamil melahirkan bayinya saat itu juga. Aku menyadarkan pandanganku yang tadinya tertutup lamunan. Menengok dan memeriksa, apa yang terjadi di luar sana.

Rupanya kendaraan ini sedang melewati jalanan yang rusak parah. Lalu terdengar komentar dan keluhan penumpang lainnya. Suara mereka berdesing seperti kepak sayap lebah. Beberapa di antara mereka memprotes tentang cara menyetir sopir yang tidak memperlambat laju bis ini meski sedang berjalan di atas jalan yang berlubang. Sebagian lagi meminta kondektur mengganti lagu Betharia Sonata.

Sedangkan aku …perhatianku justru diambil oleh seseorang yang selama dua jam ini menjadi teman perjalananku. Perempuan asing. Ia mengaduk-aduk tas ranselnya yang berwarna merah dengan panik. Wajahnya yang kuyu karena baru saja terbangun tampak bingung dan cemas.

“Aduh… Mana, sih?” gumamnya berkali-kali. Bertanya pada dirinya sendiri.

Aku memandangnya sekilas, lalu kembali menghitung jumlah tiang listrik dan pohon asam dari balik jendela bis, mencoba mengalihkan kegelisahan atas pertanyaan yang mungkin akan dilontarkan bapak saat kami bertemu nanti. Seolah tak peduli dengan kegaduhan yang terjadi tepat di sampingku ini.

Tapi tiba-tiba hitunganku buyar. Ada yang menepuk lenganku, “Maaf ganggu. Bisa minta tolong miscall hape saya? Barusan saya cari kok ndak ketemu, ya…”

Aku menoleh. Kudapati sebuah mata bening berwarna cokelat tua yang mengagumkan. Tanpa diminta dua kali, aku mengangguk dan mengeluarkan ponselku, “Nomernya berapa?”

“08140440477.”

Aku mendengarkan nada panggil dari ponselku. Dan pada saat yang bersamaan, sebuah lagu terdengar dari kantong depan tas ransel perempuan itu, sebuah lagu india yang aku tidak tahu judulnya. Selera yang cukup unik, kurasa.

Wajah perempuan itu langsung berbinar mendengar ponselnya ditemukan. Senyumnya lebar, menampakkan barisan gigi yang putih dan gigi caninus kiri yang sedikit menjorok keluar. Manis.

“Alhamdulillah ketemu. Makasih ya, Mas. Saya kira kecopetan atau hilang di mana gitu.”

Aku mematikan sambungan telepon dan tersenyum, “Iya, sama-sama. Lain kali jangan lupa naruh lagi ya…”

“Hehehe iya… Oh iya, nama saya Hanum. Nama Mas siapa?” tanyanya.

Dahiku berkerut. Mataku refleks memandang ponsel yang tengah digenggamnya. Nomor ponselku tertera di sana. Di sebuah kotak penambahan nomor baru. Dan ibu jarinya telah siap di atas keypad ponsel itu.

Pandangan kami bertemu. Ada suara yang membacakan sebaris skenario untuk kami berdua. Bunyinya sama. Atau anggap saja begitu. Karena selanjutnya, kami berdua ditenggelamkan tawa dan tersipu.

***

Kalabahi – Alor – NTT
January 19th 2013

*PS: Nomor telepon di atas beneran ada ndak ya? Kalo beneran ada, pinjem sebentar x))

Cintaku Mentok Di Kamu

esq-heart-stop-light-100810-lg

Jam praktekku sudah berakhir. Ditutup dengan seorang laki-laki yang mengeluh kencingnya bercampur nanah. Belum menikah tetapi rajin berkopulasi dengan pasangan yang bergonta-ganti. Jujur, kadang-kadang aku malas dengan pasien macam ini, yang menganggap penis sekedar aksesori pelengkap kesenangan yang bisa dibagi dengan siapa saja yang ia suka. Tanpa konsekuensi, tanpa tanggung jawab. Hanya bertukar cairan, lalu selesai begitu saja.

Kukemasi peralatan tulis dan stetoskop di meja. Ketika tanganku sudah hampir menyentuh gagang pintu, sebuah ketukan  halus terdengar dari baliknya. Kubuka pintu ruang praktekku, Dewi, perawat yang menemaniku, berdiri di ambang pintu sambil menyerahkan sebuah map rekam medis, “Maaf, Dokter. Ini ada satu pasien lagi. ia memaksa agar bisa diperiksa malam ini. Dokter Lily nggak keberatan?”

“Nggak apa-apa. Suruh masuk saja,” kataku sambil menerima map itu.

Aku kembali menuju kursiku, membuka map  berwarna biru dan mulai membaca identitas pasien di dalamnya. Dahiku mengernyit. Seperti ada bongkahan gunung es yang dijejalkan di ruangan ini. Membuat duniaku beku.

Terdengar suara Dewi memanggil pasien terakhir, “Saudara Husni Kamil, silakan masuk.”

Seorang lelaki masuk. Dan ketika mata kami bertemu, tanpa kusadari, dadaku mulai dipenuhi gemuruh jantung yang menderu.

Dewi mempersilakan pasien itu duduk di depanku. Lalu suasana di ruangan ini menjadi canggung. Dewi bahkan tampak bingung mengapa aku tak kunjung menanyakan keluhan pasien terakhir ini. Atau setidaknya, memperkenalkan diri.

Tiba-tiba lelaki itu mengalihkan pandangnya dariku. Lalu menatap Dewi dengan lekat, “Dewi ini perawat baru, ya? Dia nggak kenal aku.”

Dewi melonjak kaget mendengar namanya disebut. Tubuhnya menegang ketika pasien laki-laki ini menyorotkan pandangan yang tidak menyenangkan. Wajahnya yang dipenuhi rambut-rambut kasar di sekitar mulut dan dagu membuat ekspresinya semakin menyeramkan.

Dewi memandangku, seakan meminta penjelasan. Aku memberi kode supaya ia diam saja. Tetap berdiri di sampingku. Karena aku tidak ingin berbincang dengan Husni sendirian.

“Kenapa ke sini?” tanyaku hati-hati. Aku memberanikan diri untuk melihat langsung ke matanya. Menunjukkan padanya bahwa ia bukanlah ancaman bagiku.

“Ketemu kamu. Aku kangen,” jawabnya. Sorot matanya melunak. Ketegangan di wajahnya memudar. Bibirnya mencoba untuk tersenyum, tapi tetap saja tampak bagai seringai bagiku.

Sekarang tangan kanannya sudah berada di atas meja. Terjulur ke depan hingga kini berada tepat lima sentimeter di depan tangan kiriku. Kecemasan mulai merambat naik ke ubun-ubun.

“Kita bisa ketemu nanti. Tidak di sini,” ujarku sambil menyelamatkan tangan kiri yang bisa disambarnya sewaktu-waktu.

“Kamu nggak ngerti gimana aku hidup selama tanpa kamu?”

Kini suaranya memelas. Terdengar bagai suara anak kucing liar yang kedinginan. Ada rasa kasihan melihat kondisinya yang begitu lusuh. Kemeja Husni kotor, sobek di bagian lengan. Rambutnya gondrong dan berantakan. Ada lingkaran hitam di bawah kedua matanya.

Di dalam dada, jantungku berdebar hebat. Bukan karena rasa cinta yang dulu pernah membara. Tapi kengerian yang merayap perlahan, membayangkan kehidupan Husni setelah kami dipisahkan ketukan palu pengadilan agama enam bulan yang lalu.

“Aku tahu, Husni,” jawabku singkat. Tubuhku gemetar. Aku ingin laki-laki ini segera pergi dari sini.

Tapi tiba-tiba Husni berdiri. Kursi yang didudukinya terjatuh dan mengaduh. Dewi berteriak histeris ketika Husni meraih kerah kemejaku. Cengkeramannya mencekik leherku hingga aku tidak bisa bernapas, “Sudah cukup kamu bersenang-senang di luar sana tanpa aku! Sudah cukup kamu bermain dengan selingkuhanmu! Sekarang kamu harus pulang! Aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Kamu adrenalinku!”

“Pak, lepasin Dokter Lily!” teriak Dewi sambil berusaha melepaskan tangan Husni dari leherku. Tapi Husni mendorong tubuh Dewi hingga terpelanting ke sudut ruangan dalam sekali hempas.

Tanganku yang berkeringat menggapai tangan Husni yang besar dan kasar. Tapi ia justru mencengkeram semakin kuat. Kepalaku ringan karena sulit bernapas. Denyut jantungku melaju begitu kencang.

“Iya, Husni. Saya mau pulang sama kamu. Tapi lepaskan tanganmu. Tolong, lepaskan …”

Tanpa bisa kusadari, air mataku menetes. Husni melonggarkan tangannya. Lalu ia memelukku begitu erat, “Aku janji nggak akan selingkuh lagi, Lily. Kamu satu-satunya. Kamu satu-satunya …”

Ada kepedihan yang merangkak naik. Dulu, perselingkuhannya membuat hidupku hancur berantakan. Tapi kini, rasaku bagai diiris sembilu. Ia, laki-laki yang pernah kucintai, telah menjelma menjadi manusia yang sering berhalusinasi dan hancur jiwanya.

Kuraih ponsel yang tergeletak di meja dan menekan nomor yang masih kuhapal, “Halo, Hasna. Ini mbak Lily. Tolong jemput masmu. Iya …dia mengamuk lagi.”

***

Kalabahi – Alor – NTT

January 18th 2013

Bales Kangenku, Dong!

coffee-cup-of-tea-love-tea-Favim.com-350640 (1)

“Cieee … Lo dapet surat kaleng tuh, Gi. Sedih amat isinya ahahaha …”

Elian yang duduk di depanku tertawa hingga tersedak kopi Aceh yang disesapnya. Lalu terbatuk-batuk hingga tetes-tetes kopi tersembur ke mana-mana. Buru-buru kuserahkan segelas air putih yang disajikan gratis karena aku memesan banana split, “Sante aja dong ketawanya. Tuh kan muncrat. Majalah gue kotor deh …”

Elian meneguk air putih yang kuberikan, lalu mengambil beberapa tisu. Ia membersihkan meja, komputer tablet miliknya dan majalah milikku. Seringai iseng di wajahnya masih tetap sama, “Maaf, Gi. Refleks. Abisan penasaran, siapa yang kirim surat kaleng yang isinya sedih begini. ‘Di dunia kita tidak bisa bersama. Semoga kelak, kita bisa menyatu di keabadian.’ Sedaaap.”

Wajah Elian mendadak pucat ketika menyadari cangkir kopinya tumpah dan menghancurkan majalah yang baru saja kubeli. Kami berpandangan selama beberapa detik. Jika kami sedang berada dalam skenario FTV, maka selanjutnya kami akan saling jatuh cinta.

Tapi tidak. Justru aku kesal sekali. Dengan cepat kuraih majalah yang telah menghitam. Dan membersihkan majalah itu dengan berlembar-lembar tisu, “Eliaaan! Duh wajah Ryan Gosling jadi item gini …”

“Aduh, Maaf, Gi. Janji abis ini gue beliin baru. Dijamin wajah Ryan Gosling masih tetep seganteng gue.”

“Seralo, El,” dengan kesal kuselamatkan majalah yang terlanjur basah jauh-jauh dari jangkauan Elian. Lalu kembali berkutat dengan laptop, segelas besar Green Tea Frappe dan juga banana split yang hampir habis. Dalam hati tetap berharap Elian akan memegang janjinya, membelikanku majalah yang baru.

“Hehehe … Lo nggak penasaran sama yang kirim surat kaleng ini?” tanya Elian.

“Lo nggak baca berapa surat kaleng yang harus gue penasaranin?” jawabku. Aku tahu Elian sedang memandangku. Tapi aku masih kesal. Dan menjawab pertanyaannya sambil berpura-pura sibuk dengan laptopku. Padahal sejujurnya aku penasaran betul mengetahui identitas sebelas orang yang sudah mengirimkan surat kaleng melalui akun PosCinta ini. Ternyata gue terkenal juga ya…

“Cih … sombong banget. Iya deh yang lagi naik daun di Twitter. Itu kalo lo nggak mau disebut selebtwit,” cibir Elian.

“Itu karena tweet-tweet gue banyak yang suka,” jawabku. Tapi Elian hanya tertawa dengan ekspresi wajah yang menyebalkan. Dia mengangkat tangan sebagai kode untuk memesan minuman lagi. Mendengarnya memesan kopi Aceh lagi membuatku heran. Lambung orang ini kuat banget ya. Jika memesan kopi Aceh lagi, berarti sudah empat cangkir kopi yang ia konsumsi selama pergi denganku.

“Jangan bangga dulu, Nona. Lo liat dong follower lo banyakan cowok. Itu berarti mereka lebih suka avatar lo,” kali ini Elian merampas piring banana split dari hadapanku.

“Mending daripada lo yang isi timelinenya sepikan sama modus mulu. Desperate banget kayanya. Minta perhatian kok dari follower ahahaha …” ejekku sambil menunjukkan sebuah tweet Elian yang berbunyi, ‘Gue bisa ngeramal kepribadian dari cara memegang ponsel. Twitpic foto terbaru kalian.’

Rupanya kata-kataku telah tepat sasaran. Wajah Elian merah padam, “Kampret! Iya iya, Nyah … Gue nggak dapet perhatian dari lo makanya desperate gini. Makanya ajarin dong bikin kata-kata galau kaya lo gitu.”

“Gue nggak galau,” elakku.

Semua orang tahu aturan main di Twitter. Tidak ada yang benar-benar serius. Ya … sesekali bolehlah. Tapi tidak semua hal yang tertulis di sana adalah yang benar-benar terjadi.

“Nggak galau apaan? Apa nih … ‘Rindu adalah tanaman rimbun yang berakar. Memenuhi taman hati dan selalu butuh ruang baru karena ia akan terus tumbuh.’ Lo lagi kangen sama siapa, sih? Lo nggak liat ada orang seganteng Ryan Gosling dengan ikhlas nemenin lo ngetik novel seharian?”

“Ryan Gosling kecebur got sih iya. Nggak ada! Random aja. Lo tau kan sebagai orang dengan follower banyak itu perlu pencitraan. Ya kali ada yang bales tweet gue tadi pake serius hehehe …” kataku. Lalu dengan cepat menandaskan Green Tea Frappe yang memang tinggal seperempat.

“Lo juga modus, Gi …”

“Tapi cara gue lebih elegan dibanding lo, Nyet!”

“Ahahaha. Well … Gia, boleh gue aja yang bales tweet ini pake serius?”

***

Moru – Alor – NTT

January 17th 2013

Sambungan Hati Jarak Jauh

blackberry-bold-heart-love-phone-Favim.com-131824_large

Semua orang pasti setuju. Jarak dan waktu adalah angka yang berkoalisi memupuk rindu. Sama halnya dengan rumus fisika dimana kecepatan berbanding lurus dengan jarak, dan berbanding terbalik dengan waktu. Apa hubungannya?

Begini. Kecepatan merasakan rindu yang menggebu, pertama, jelas dipengaruhi oleh jarak. Semakin besar jarak yang harus ditempuh sepasang pecinta untuk bertemu, maka kadar rindu akan tumbuh makin subur. Lalu bagaimana dengan waktu? Bagaimana bisa waktu berbanding terbalik dengan kecepatan hati merasa rindu? Well, di sini aku berteori. Bahwa kebersamaan yang singkat karena harus segera dipisahkan oleh jarak itu tidak berbeda rasanya dengan ingin memasak mie rebus, lengkap dengan sawi, wortel dan telur, tetapi harus ditunda gara-gara tidak punya uang. Kangennya bertumpuk. Berlipat ganda. Intinya, kadang sampai kalian tidak sanggup lagi menahannya.

Ah, sudahlah. Aku hanya satu dari jutaan pasangan yang rela memunguti rindu setiap hari karena jarak yang memisahkan. Dan saat ini, aku memang sedang berkeluh kesah. Alor dan Surabaya itu jauh, sodara! Kalian tahu sendiri, dewasa ini, kepercayaan seseorang terhadap pasangannya sangat dipengaruhi kuatnya sinyal ketika melakukan komunikasi memalui suara atau dunia maya. Dan sayangnya, Alor masih didominasi dengan daerah dengan sinyal selemah rupiah terhadap dollar. Iya. LDR semenyedihkan itu.

Pernah sekali aku berharap, perempuanku itu sudi mengurus kepindahan kerjanya demi memuaskan rasa rindu kami. Jawabannya adalah, “Kakanda, jauh dekat sama saja. Aku sayang kamu.”

Bukan. Bukan berarti aku tidak mau berkorban menerjang jarak yang membentang. Sudah hampir dua tahun ini aku bertugas sebagai dokter PNS di Alor. Ketergantungan puskesmas terhadap dokter membuatku tidak bisa terlalu sering mengajukan ijin untuk terbang ke pulau Jawa. Dan aku ingin menabung demi keperluan masa depan, sehingga harus menahan diri untuk tidak sering pulang ke Jawa.

Rasanya aku ingin mengatakan pada perempuanku, bahwa hati ini sudah terlalu lama dirundung kemarau panjang. Apalagi sudah sebulan ini lamaranku ia gantungkan tanpa jawaban. Tapi tetap saja, aku lemah ketika mendengar kata manis dan manja. Aku terdiam mendengar jawabannya. Bahkan berbunga-bunga. Sebelum menyadari bahwa kata hanyalah rangkaian aksara tanpa ‘kita’ yang saling menautkan jari dan berbagi pelukan.

Dia pernah datang dan berlibur di Alor. Saat itu, aku bahagia bukan kepalang. Bahkan aku rajin mengupdate kegiatanku dan perempuanku di Twitter, Facebook, status BBM, Foursquare, Instagram, dan sebagainya, untuk sekedar memamerkan kebersamaan kami yang bisa dibilang langka. Tapi setelah itu, kami kembali ditelan kesibukan masing-masing. Dan menyerahkan rindu pada sambungan telepon, untaian pesan singkat BBM, mention di Twitter, dan bercakap-cakap melalui Skype.

Sebentar. Rasanya ponselku sedang melantunkan lagu Dear God. Perempuanku.

“Hallo, Dinda …”

“Hallo. Assalamualaikum, Kakandaku.”

Mendengar suaranya saja aku langsung tersenyum sangat lebar. Beginilah nasib para pejuang LDR. Begitu tersiksa oleh butir-butir suara yang mereplikasi rindu. Berangan-angan bahwa hanya dengan suara, dia ada.

“Walaikumsalam. Tumben tengah malem gini nelpon. Belum tidur?”

“Belum, nih. Dari tadi ngetik-ngetik. Eh, udah makan?”

Yak. Akhirnya muncul juga pertanyaan sejuta umat ini. Tapi tetap saja aku bahagia mendengarnya, “Sudah. Dinda sudah makan tho?”

“Heeh. Tadi beli sate sama Ibu. O iya, Mas nggak bisa pulang ke Jawa dalam waktu dekat ini?”

Tiba-tiba pikiranku tak karuan mendengar pertanyaannya. Adindaku ini jarang sekali memintaku untuk ini-itu. Maka mendengar permintaannya tadi, membuatku berpikir macam-macam, “Ada apa, Dinda? Ada yang sakit atau ada masalah apa?”

“Nggak. Nggak ada masalah.”

“Trus?”

“Ya, gimana saya bisa ngurus kepindahan tugas dengan alasan ikut suami kalo kita belum menikah, Mas?”

Ada jeda selama beberapa detik. Otakku meyakinkan hati yang terlanjut melonjak kegirangan. Diriku memastikan kalimat tadi bukan sekedar mimpi.

“Sebentar, Dinda. Saya tutup dulu telponnya. Nanti saya telpon lagi, ya.”

Tanpa menunggu jawaban dari seberang, kutekan tombol merah di ponselku. Lalu menekan nomor yang sudah kuhapal di luar kepala, “Halo, Bang? Aku mau pesan tiket pesawat. Alor – Kupang, Kupang – Surabaya. Untuk besok.”

***

Moru – Alor – NTT
January 16th 2013

Cuti Sakit Hati

boy-and-girl-heart-love-puzzle-Favim.com-414083

Jam tiga pagi. Ruangan unit gawat darurat sudah mulai sepi. Satu per satu, pasien dengan kondisi stabil sudah dipindah ke ruang rawat inap. Di depanku masih ada satu perempuan yang sedang dinebul karena serangan asma. Satu lagi seorang remaja pria yang mengalami luka robek di dahi.

It’s a wrap! Jahitannya jangan kena air. Obatnya diminum. Kompres daerah sekitar luka dengan es. Dan jangan lupa kontrol ke poli tiga hari lagi,” ujar Atma pada pasien remaja itu sambil membereskan alat hechting bekas pakai.

Setelah mencuci tangan, menulis di status pasien dan menyerahkannya pada perawat, Atma bergabung denganku di meja bundar, tempat dokter dan perawat jaga biasa berkumpul.

“Haaah … Dasar abege. Baru bisa naik motor aja udah berani ngebut. Yang ada malah benjut!” Atma mengomel dan mencibir. Ia mencomot kue nastar dari toples di depan kami.

“Halah … Kaya kamu nggak doyan ngebut aja!” kataku sambil memukul bahunya dengan buku besar berisi laporan jaga. Refleks dia menjauhkan diri dariku dan tertawa.

“Ahahaha tapi aku kan bukan pengendara motor amatir. Udah pengalaman, Vit. Pengalaman!” katanya.

Sak karepmu.”

Kuabaikan Atma dan kulanjutkan menulis laporan jaga malam ini. Malam minggu memang bukan saat yang tepat untuk jaga malam. Karena kejadian angka kecelakaan lalu lintas cenderung lebih tinggi dibanding hari biasa. Entah apa yang menyebabkannya. Mungkin semua orang begitu bernafsu menghabiskan malam minggu. Padahal untuk malam yang katanya panjang, menurutku, seseorang tak perlu terburu-buru.

“Vit … denger-denger udah ngajuin cuti, ya?” tanya Atma.

Sejenak tanganku berhenti bergerak. Mataku berhenti pada satu titik. Dan tubuhku berhenti bernapas.

“Iya.”

“Cuti seminggu, ya?” tanyanya lagi. Dan kali ini kujawab hanya dengan anggukan ringan.

“Cuti buat apa, Vit?” tanyanya lagi.

“Liburan. Puas? Ya kalo udah tau semua ngapain pake nanya sih, Ma?”

Akhirnya kekesalanku meluap juga. Dalam hati aku merutuk dan memaki Atma yang sok ingin tahu. Tapi kekesalan terbesar adalah diingatkan tentang alasanku mengajukan cuti.

“Eh … Maaf, Vit. Nggak ada maksud ikut campur atau sok ingin tahu. I am sorry to hear … you know … your engagement cancellation,” ujarnya dengan suara lirih yang penuh rasa bersalah.

Aku merasa, saat ini, Atma memandangiku. Dan terus terang, aku tidak tahu harus memutuskan untuk bersikap bagaimana.

“Untungnya aku tau Arya itu laki-laki seperti apa sebelum terlanjur nikah, Ma,” jawabku setelah memastikan bahwa tidak ada yang mendengar percakapan kami.

Aku tidak bisa berbohong pada Atma. Dia adalah sahabatku sejak awal kuliah hingga kini kami terdampar sebagai dokter jaga UGD di rumah sakit yang sama. Tapi untuk urusan percintaan, kami tidak pernah mengintervensi satu sama lain. Dan aku adalah tipe orang yang tertutup untk masalah ini. Bahkan aku enggan membaginya atau sekedar berkeluh kesah pada sahabat sendiri.

Namun malam ini, rasanya aku memilih untuk berbagi beban dengannya. Aku tidak tahu apakah hal ini bisa membantu perasaanku yang remuk. Tapi ada sesuatu yang terasa lebih ringan setiap kali membicarakan kebusukan Arya. Setidaknya aku menganggapnya sebagai terapi untuk mempercepat pemulihan jiwa.

“Bener, Vit. Mending nyesel sekarang daripada nanti pas kalian udah nikah. Ngenes banget kalo suamimu selingkuh. Trus selingkuhannya pake acara hamil pula. Beuh!”

“Dasar kampret! Udah tau semuanya pake sok-sok nanya! Hih… Monster kepo banget sih,” omelku sambil menghantamkan buku laporan jaga berkali-kali ke pundaknya.

“Iya iya. Ampun, Dokter Vita. Semoga cuti liburanmu berhasil membenahi hatimu yang terlanjur hancur berkeping-keping.”

Udelmu bodong!”

“Ahahaha … O iya, kamu tau nggak? I’m an expert on solving puzzle.”

***

Moru – Alor – NTT
January 15th 2013