Jam praktekku sudah berakhir. Ditutup dengan seorang laki-laki yang mengeluh kencingnya bercampur nanah. Belum menikah tetapi rajin berkopulasi dengan pasangan yang bergonta-ganti. Jujur, kadang-kadang aku malas dengan pasien macam ini, yang menganggap penis sekedar aksesori pelengkap kesenangan yang bisa dibagi dengan siapa saja yang ia suka. Tanpa konsekuensi, tanpa tanggung jawab. Hanya bertukar cairan, lalu selesai begitu saja.
Kukemasi peralatan tulis dan stetoskop di meja. Ketika tanganku sudah hampir menyentuh gagang pintu, sebuah ketukan halus terdengar dari baliknya. Kubuka pintu ruang praktekku, Dewi, perawat yang menemaniku, berdiri di ambang pintu sambil menyerahkan sebuah map rekam medis, “Maaf, Dokter. Ini ada satu pasien lagi. ia memaksa agar bisa diperiksa malam ini. Dokter Lily nggak keberatan?”
“Nggak apa-apa. Suruh masuk saja,” kataku sambil menerima map itu.
Aku kembali menuju kursiku, membuka map berwarna biru dan mulai membaca identitas pasien di dalamnya. Dahiku mengernyit. Seperti ada bongkahan gunung es yang dijejalkan di ruangan ini. Membuat duniaku beku.
Terdengar suara Dewi memanggil pasien terakhir, “Saudara Husni Kamil, silakan masuk.”
Seorang lelaki masuk. Dan ketika mata kami bertemu, tanpa kusadari, dadaku mulai dipenuhi gemuruh jantung yang menderu.
Dewi mempersilakan pasien itu duduk di depanku. Lalu suasana di ruangan ini menjadi canggung. Dewi bahkan tampak bingung mengapa aku tak kunjung menanyakan keluhan pasien terakhir ini. Atau setidaknya, memperkenalkan diri.
Tiba-tiba lelaki itu mengalihkan pandangnya dariku. Lalu menatap Dewi dengan lekat, “Dewi ini perawat baru, ya? Dia nggak kenal aku.”
Dewi melonjak kaget mendengar namanya disebut. Tubuhnya menegang ketika pasien laki-laki ini menyorotkan pandangan yang tidak menyenangkan. Wajahnya yang dipenuhi rambut-rambut kasar di sekitar mulut dan dagu membuat ekspresinya semakin menyeramkan.
Dewi memandangku, seakan meminta penjelasan. Aku memberi kode supaya ia diam saja. Tetap berdiri di sampingku. Karena aku tidak ingin berbincang dengan Husni sendirian.
“Kenapa ke sini?” tanyaku hati-hati. Aku memberanikan diri untuk melihat langsung ke matanya. Menunjukkan padanya bahwa ia bukanlah ancaman bagiku.
“Ketemu kamu. Aku kangen,” jawabnya. Sorot matanya melunak. Ketegangan di wajahnya memudar. Bibirnya mencoba untuk tersenyum, tapi tetap saja tampak bagai seringai bagiku.
Sekarang tangan kanannya sudah berada di atas meja. Terjulur ke depan hingga kini berada tepat lima sentimeter di depan tangan kiriku. Kecemasan mulai merambat naik ke ubun-ubun.
“Kita bisa ketemu nanti. Tidak di sini,” ujarku sambil menyelamatkan tangan kiri yang bisa disambarnya sewaktu-waktu.
“Kamu nggak ngerti gimana aku hidup selama tanpa kamu?”
Kini suaranya memelas. Terdengar bagai suara anak kucing liar yang kedinginan. Ada rasa kasihan melihat kondisinya yang begitu lusuh. Kemeja Husni kotor, sobek di bagian lengan. Rambutnya gondrong dan berantakan. Ada lingkaran hitam di bawah kedua matanya.
Di dalam dada, jantungku berdebar hebat. Bukan karena rasa cinta yang dulu pernah membara. Tapi kengerian yang merayap perlahan, membayangkan kehidupan Husni setelah kami dipisahkan ketukan palu pengadilan agama enam bulan yang lalu.
“Aku tahu, Husni,” jawabku singkat. Tubuhku gemetar. Aku ingin laki-laki ini segera pergi dari sini.
Tapi tiba-tiba Husni berdiri. Kursi yang didudukinya terjatuh dan mengaduh. Dewi berteriak histeris ketika Husni meraih kerah kemejaku. Cengkeramannya mencekik leherku hingga aku tidak bisa bernapas, “Sudah cukup kamu bersenang-senang di luar sana tanpa aku! Sudah cukup kamu bermain dengan selingkuhanmu! Sekarang kamu harus pulang! Aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Kamu adrenalinku!”
“Pak, lepasin Dokter Lily!” teriak Dewi sambil berusaha melepaskan tangan Husni dari leherku. Tapi Husni mendorong tubuh Dewi hingga terpelanting ke sudut ruangan dalam sekali hempas.
Tanganku yang berkeringat menggapai tangan Husni yang besar dan kasar. Tapi ia justru mencengkeram semakin kuat. Kepalaku ringan karena sulit bernapas. Denyut jantungku melaju begitu kencang.
“Iya, Husni. Saya mau pulang sama kamu. Tapi lepaskan tanganmu. Tolong, lepaskan …”
Tanpa bisa kusadari, air mataku menetes. Husni melonggarkan tangannya. Lalu ia memelukku begitu erat, “Aku janji nggak akan selingkuh lagi, Lily. Kamu satu-satunya. Kamu satu-satunya …”
Ada kepedihan yang merangkak naik. Dulu, perselingkuhannya membuat hidupku hancur berantakan. Tapi kini, rasaku bagai diiris sembilu. Ia, laki-laki yang pernah kucintai, telah menjelma menjadi manusia yang sering berhalusinasi dan hancur jiwanya.
Kuraih ponsel yang tergeletak di meja dan menekan nomor yang masih kuhapal, “Halo, Hasna. Ini mbak Lily. Tolong jemput masmu. Iya …dia mengamuk lagi.”
***
Kalabahi – Alor – NTT
January 18th 2013