Posts Tagged ‘ fiksi ’

Kartini

Namanya Kartini. Tapi ia benci namanya sendiri. Kartini bukan anak priyayi. Ataupun bangsawan dengan kasta tinggi. Ibunya bekerja sebagai buruh cuci. Sedangkan bapaknya hanya seorang kuli.

Namanya Kartini. Tapi ia benci namanya sendiri. Kartini tidak pandai membaca. Ia tidak pernah duduk di bangku sekolah karena tidak ada biaya. Ia diberi nama Kartini sebagai singkatan dari Karyo dan Ngatini. Tidak ada arti khusus. Tidak ada harapan istimewa. Kartini hanyalah sebuah nama sederhana yang berarti buah hati bapak dan ibunya.

Namanya Kartini. Tapi ia benci namanya sendiri. Karena suatu hari di tanggal 21 April, Kartini tahu bahwa namanya sama dengan seorang pahlawan wanita. Pejuang emansipasi, katanya. Serta merta Kartini marah pada orang tuanya. Mengapa begitu gegabah memberi nama Kartini pada dirinya. Sekali dengar, semua orang berharap banyak padanya. Tapi nyatanya, Kartini hanyalah perempuan buta huruf yang bahkan tidak tahu apa arti emansipasi wanita.

Namun bagaimanapun, di dalam nama pasti ada sejumput doa. Berkat kekesalannya pada sebuah nama – namanya sendiri – Kartini mulai belajar menulis dan membaca. Ia tahu Kartini asli lahir di Jepara. Ia paham arti kalimat ‘Habis gelap terbitlah terang’. Dan kini ia sudah tahu apa itu emansipasi wanita.

Kartini mulai bangga pada dirinya sendiri. Mungkin ia tidak bisa mengubah dunia atau jutaan perempuan di Indonesia. Tapi setidaknya, ia bisa mengubah dirinya.

Dan akhirnya Kartini menyadari sesuatu. Kesamaan antara dirinya dengan Kartini asli dari Jepara.

Ah. Rupanya kami tidak jauh berbeda, pikirnya.

Di dalam hati, Kartini merasa ada takdir yang dihubungkan oleh benang merah pada perempuan bernama Kartini. Sama-sama ingin mengubah diri sendiri. Sama-sama dipersunting seorang pria bernama Singgih. Sama-sama menikah dengan laki-laki yang sebelumnya sudah memiliki tiga istri.

***

Malang, 28 August 2013

· Ngetwist ndak ya… T~T

[BeraniCerita #07] Si Pendiam yang Aneh

morning-laptop-black-coffee-mug-cup-paper-news

Namanya Dipo. Usianya sekitar sembilan tahun. Atau sepuluh. Entahlah. Aku tidak tahu dengan pasti. Dia hanya tersenyum setiap kali aku menanyakan berapa usianya. Rambutnya ikal dan berwarna kecokelatan. Ada tanda lahir di pergelangan tangan kanannya, berbentuk bulat dan kehitaman. Tubuhnya kecil dan kurus. Ada lekukan tulang iga yang menonjol di balik kulit dadanya. Tapi ia tak pernah menyentuh donat atau roti isi yang kutawarkan. Rasanya, Dipo tidak pernah mengenal kata lapar.

Aku baru mengenal Dipo selama tiga bulan. Anak itu selalu membawakanku secangkir kopi hitam tanpa gula, lalu meletakkannya sejajar dengan mouse di meja kerjaku. Tepat jam delapan lewat sepuluh di pagi hari. Pas, lima menit setelah aku duduk di kubikelku. Tidak kurang. Tidak lebih. Dipo selalu datang tepat waktu.

Bisa dibilang, Dipo adalah anak yang tidak banyak bicara. Dia menanggapi semua kata-kataku dengan bahasa tubuhnya. Gelengan, anggukan, atau sebaris senyum lebar yang menggemaskan. Bahkan aku tahu namanya dari bordiran huruf di kemeja putih bagian kanannya. Tapi aku tidak bosan bercakap-cakap dengannya. Atau sekadar berkeluh kesah. Well, dia memang tidak pernah memberiku saran atau kalimat apapun. Namun entah sejak kapan, kehadirannya sama pentingnya dengan secangkir kopi hitam untuk pagiku. Wajib.

Tapi pagi ini berbeda. Sudah hampir jam sembilan, secangkir kopi hitam tanpa gula belum tersedia. Dan Dipo yang pernah kukira mengidap mutis itu tidak kunjung tiba.

Empat puluh menit tanpa ada tanda-tanda kehadiran Dipo, aku sudah mulai merindukannya. Aku rindu aroma kopi di sisi mouse-ku. Aku rindu sikapnya yang misterius. Aku rindu senyumnya yang lugu dan tulus.

“Ndro, Dipo kok nggak datang?” tanyaku pada Endro yang kubikel kerjanya tepat berada di sampingku. Tak mungkin Endro tidak tahu. Bisa jadi, Dipo pergi tanpa sempat memberitahuku. Dan memikirkannya saja membuatku dirundung cemburu.

“Di… Dipo?” tanya Endro. Kalimatnya terbata-bata. Matanya awas menyelidik ke sekitar meja kerjaku yang berantakan. Atau mungkin melirik tangan kiriku yang jari-jarinya mengetuk-ngetuk flipchart dengan tidak sabar. Aku tidak tahu.

“Iya. Anak kecil yang biasanya pake kemeja putih trus nganter kopi ke kubikelku tiap pagi,” repetku dengan tidak sabar. Irama ketukan jariku di atas flipchart semakin tak menentu. Sama seperti napasku yang terburu-buru.

Aku bisa melihat, dahi Endro berkerut seperti baru saja kena tilang. Rekan kerjaku itu menelan ludah. Lalu melihatku dengan gamang, seperti ada angin yang memasangsurutkan kata-katanya.

“Gayatri, nggak pernah ada Dipo atau anak kecil manapun yang nganter kopi ke kubikelmu.”

Aku bingung.

Kutolehkan kepala. Tepat di samping mouse, tiba-tiba ada secangkir kopi hitam di sana.

***

Malang, April 14th 2013

banner-BC#07

Menanti Lamaran

Tiga hari lalu, pria itu datang. Pria dengan wajah teduh, senyum yang hangat, dan mata yang memberikan perlindungan dan rasa percaya.

Jantungku berdebar kencang seperti kuda pacu. Ia telah berjanji akan datang ke rumah. Melamarku secara khusus kepada seluruh keluarga. Sore ini, aku akan dipinangnya.

Tubuhku telah bersih dan wangi. Kukenakan baju terbaik yang kupunya serta sepasang sepatuku satu-satunya.

Pukul 15:37, pria karismatik itu datang. Dengan kalimat bijaksana, ia meyakinkanku dan keluargaku, bahwa kedatangannya adalah awal dari bahagia yang sesungguhnya.

Tak pernah aku segugup ini. Ada detak berirama yang baru ia letakkan ke balik kemejaku. Ia memelukku dan berbisik, “Pergilah ke tempat yang disepakati, Hasyim. Dan nikmati pernikahanmu, wahai Calon Pengantin.”

***

Kalabahi – Alor – NTT
January 20th 2013

Bales Kangenku, Dong!

coffee-cup-of-tea-love-tea-Favim.com-350640 (1)

“Cieee … Lo dapet surat kaleng tuh, Gi. Sedih amat isinya ahahaha …”

Elian yang duduk di depanku tertawa hingga tersedak kopi Aceh yang disesapnya. Lalu terbatuk-batuk hingga tetes-tetes kopi tersembur ke mana-mana. Buru-buru kuserahkan segelas air putih yang disajikan gratis karena aku memesan banana split, “Sante aja dong ketawanya. Tuh kan muncrat. Majalah gue kotor deh …”

Elian meneguk air putih yang kuberikan, lalu mengambil beberapa tisu. Ia membersihkan meja, komputer tablet miliknya dan majalah milikku. Seringai iseng di wajahnya masih tetap sama, “Maaf, Gi. Refleks. Abisan penasaran, siapa yang kirim surat kaleng yang isinya sedih begini. ‘Di dunia kita tidak bisa bersama. Semoga kelak, kita bisa menyatu di keabadian.’ Sedaaap.”

Wajah Elian mendadak pucat ketika menyadari cangkir kopinya tumpah dan menghancurkan majalah yang baru saja kubeli. Kami berpandangan selama beberapa detik. Jika kami sedang berada dalam skenario FTV, maka selanjutnya kami akan saling jatuh cinta.

Tapi tidak. Justru aku kesal sekali. Dengan cepat kuraih majalah yang telah menghitam. Dan membersihkan majalah itu dengan berlembar-lembar tisu, “Eliaaan! Duh wajah Ryan Gosling jadi item gini …”

“Aduh, Maaf, Gi. Janji abis ini gue beliin baru. Dijamin wajah Ryan Gosling masih tetep seganteng gue.”

“Seralo, El,” dengan kesal kuselamatkan majalah yang terlanjur basah jauh-jauh dari jangkauan Elian. Lalu kembali berkutat dengan laptop, segelas besar Green Tea Frappe dan juga banana split yang hampir habis. Dalam hati tetap berharap Elian akan memegang janjinya, membelikanku majalah yang baru.

“Hehehe … Lo nggak penasaran sama yang kirim surat kaleng ini?” tanya Elian.

“Lo nggak baca berapa surat kaleng yang harus gue penasaranin?” jawabku. Aku tahu Elian sedang memandangku. Tapi aku masih kesal. Dan menjawab pertanyaannya sambil berpura-pura sibuk dengan laptopku. Padahal sejujurnya aku penasaran betul mengetahui identitas sebelas orang yang sudah mengirimkan surat kaleng melalui akun PosCinta ini. Ternyata gue terkenal juga ya…

“Cih … sombong banget. Iya deh yang lagi naik daun di Twitter. Itu kalo lo nggak mau disebut selebtwit,” cibir Elian.

“Itu karena tweet-tweet gue banyak yang suka,” jawabku. Tapi Elian hanya tertawa dengan ekspresi wajah yang menyebalkan. Dia mengangkat tangan sebagai kode untuk memesan minuman lagi. Mendengarnya memesan kopi Aceh lagi membuatku heran. Lambung orang ini kuat banget ya. Jika memesan kopi Aceh lagi, berarti sudah empat cangkir kopi yang ia konsumsi selama pergi denganku.

“Jangan bangga dulu, Nona. Lo liat dong follower lo banyakan cowok. Itu berarti mereka lebih suka avatar lo,” kali ini Elian merampas piring banana split dari hadapanku.

“Mending daripada lo yang isi timelinenya sepikan sama modus mulu. Desperate banget kayanya. Minta perhatian kok dari follower ahahaha …” ejekku sambil menunjukkan sebuah tweet Elian yang berbunyi, ‘Gue bisa ngeramal kepribadian dari cara memegang ponsel. Twitpic foto terbaru kalian.’

Rupanya kata-kataku telah tepat sasaran. Wajah Elian merah padam, “Kampret! Iya iya, Nyah … Gue nggak dapet perhatian dari lo makanya desperate gini. Makanya ajarin dong bikin kata-kata galau kaya lo gitu.”

“Gue nggak galau,” elakku.

Semua orang tahu aturan main di Twitter. Tidak ada yang benar-benar serius. Ya … sesekali bolehlah. Tapi tidak semua hal yang tertulis di sana adalah yang benar-benar terjadi.

“Nggak galau apaan? Apa nih … ‘Rindu adalah tanaman rimbun yang berakar. Memenuhi taman hati dan selalu butuh ruang baru karena ia akan terus tumbuh.’ Lo lagi kangen sama siapa, sih? Lo nggak liat ada orang seganteng Ryan Gosling dengan ikhlas nemenin lo ngetik novel seharian?”

“Ryan Gosling kecebur got sih iya. Nggak ada! Random aja. Lo tau kan sebagai orang dengan follower banyak itu perlu pencitraan. Ya kali ada yang bales tweet gue tadi pake serius hehehe …” kataku. Lalu dengan cepat menandaskan Green Tea Frappe yang memang tinggal seperempat.

“Lo juga modus, Gi …”

“Tapi cara gue lebih elegan dibanding lo, Nyet!”

“Ahahaha. Well … Gia, boleh gue aja yang bales tweet ini pake serius?”

***

Moru – Alor – NTT

January 17th 2013

Sambungan Hati Jarak Jauh

blackberry-bold-heart-love-phone-Favim.com-131824_large

Semua orang pasti setuju. Jarak dan waktu adalah angka yang berkoalisi memupuk rindu. Sama halnya dengan rumus fisika dimana kecepatan berbanding lurus dengan jarak, dan berbanding terbalik dengan waktu. Apa hubungannya?

Begini. Kecepatan merasakan rindu yang menggebu, pertama, jelas dipengaruhi oleh jarak. Semakin besar jarak yang harus ditempuh sepasang pecinta untuk bertemu, maka kadar rindu akan tumbuh makin subur. Lalu bagaimana dengan waktu? Bagaimana bisa waktu berbanding terbalik dengan kecepatan hati merasa rindu? Well, di sini aku berteori. Bahwa kebersamaan yang singkat karena harus segera dipisahkan oleh jarak itu tidak berbeda rasanya dengan ingin memasak mie rebus, lengkap dengan sawi, wortel dan telur, tetapi harus ditunda gara-gara tidak punya uang. Kangennya bertumpuk. Berlipat ganda. Intinya, kadang sampai kalian tidak sanggup lagi menahannya.

Ah, sudahlah. Aku hanya satu dari jutaan pasangan yang rela memunguti rindu setiap hari karena jarak yang memisahkan. Dan saat ini, aku memang sedang berkeluh kesah. Alor dan Surabaya itu jauh, sodara! Kalian tahu sendiri, dewasa ini, kepercayaan seseorang terhadap pasangannya sangat dipengaruhi kuatnya sinyal ketika melakukan komunikasi memalui suara atau dunia maya. Dan sayangnya, Alor masih didominasi dengan daerah dengan sinyal selemah rupiah terhadap dollar. Iya. LDR semenyedihkan itu.

Pernah sekali aku berharap, perempuanku itu sudi mengurus kepindahan kerjanya demi memuaskan rasa rindu kami. Jawabannya adalah, “Kakanda, jauh dekat sama saja. Aku sayang kamu.”

Bukan. Bukan berarti aku tidak mau berkorban menerjang jarak yang membentang. Sudah hampir dua tahun ini aku bertugas sebagai dokter PNS di Alor. Ketergantungan puskesmas terhadap dokter membuatku tidak bisa terlalu sering mengajukan ijin untuk terbang ke pulau Jawa. Dan aku ingin menabung demi keperluan masa depan, sehingga harus menahan diri untuk tidak sering pulang ke Jawa.

Rasanya aku ingin mengatakan pada perempuanku, bahwa hati ini sudah terlalu lama dirundung kemarau panjang. Apalagi sudah sebulan ini lamaranku ia gantungkan tanpa jawaban. Tapi tetap saja, aku lemah ketika mendengar kata manis dan manja. Aku terdiam mendengar jawabannya. Bahkan berbunga-bunga. Sebelum menyadari bahwa kata hanyalah rangkaian aksara tanpa ‘kita’ yang saling menautkan jari dan berbagi pelukan.

Dia pernah datang dan berlibur di Alor. Saat itu, aku bahagia bukan kepalang. Bahkan aku rajin mengupdate kegiatanku dan perempuanku di Twitter, Facebook, status BBM, Foursquare, Instagram, dan sebagainya, untuk sekedar memamerkan kebersamaan kami yang bisa dibilang langka. Tapi setelah itu, kami kembali ditelan kesibukan masing-masing. Dan menyerahkan rindu pada sambungan telepon, untaian pesan singkat BBM, mention di Twitter, dan bercakap-cakap melalui Skype.

Sebentar. Rasanya ponselku sedang melantunkan lagu Dear God. Perempuanku.

“Hallo, Dinda …”

“Hallo. Assalamualaikum, Kakandaku.”

Mendengar suaranya saja aku langsung tersenyum sangat lebar. Beginilah nasib para pejuang LDR. Begitu tersiksa oleh butir-butir suara yang mereplikasi rindu. Berangan-angan bahwa hanya dengan suara, dia ada.

“Walaikumsalam. Tumben tengah malem gini nelpon. Belum tidur?”

“Belum, nih. Dari tadi ngetik-ngetik. Eh, udah makan?”

Yak. Akhirnya muncul juga pertanyaan sejuta umat ini. Tapi tetap saja aku bahagia mendengarnya, “Sudah. Dinda sudah makan tho?”

“Heeh. Tadi beli sate sama Ibu. O iya, Mas nggak bisa pulang ke Jawa dalam waktu dekat ini?”

Tiba-tiba pikiranku tak karuan mendengar pertanyaannya. Adindaku ini jarang sekali memintaku untuk ini-itu. Maka mendengar permintaannya tadi, membuatku berpikir macam-macam, “Ada apa, Dinda? Ada yang sakit atau ada masalah apa?”

“Nggak. Nggak ada masalah.”

“Trus?”

“Ya, gimana saya bisa ngurus kepindahan tugas dengan alasan ikut suami kalo kita belum menikah, Mas?”

Ada jeda selama beberapa detik. Otakku meyakinkan hati yang terlanjut melonjak kegirangan. Diriku memastikan kalimat tadi bukan sekedar mimpi.

“Sebentar, Dinda. Saya tutup dulu telponnya. Nanti saya telpon lagi, ya.”

Tanpa menunggu jawaban dari seberang, kutekan tombol merah di ponselku. Lalu menekan nomor yang sudah kuhapal di luar kepala, “Halo, Bang? Aku mau pesan tiket pesawat. Alor – Kupang, Kupang – Surabaya. Untuk besok.”

***

Moru – Alor – NTT
January 16th 2013

Cuti Sakit Hati

boy-and-girl-heart-love-puzzle-Favim.com-414083

Jam tiga pagi. Ruangan unit gawat darurat sudah mulai sepi. Satu per satu, pasien dengan kondisi stabil sudah dipindah ke ruang rawat inap. Di depanku masih ada satu perempuan yang sedang dinebul karena serangan asma. Satu lagi seorang remaja pria yang mengalami luka robek di dahi.

It’s a wrap! Jahitannya jangan kena air. Obatnya diminum. Kompres daerah sekitar luka dengan es. Dan jangan lupa kontrol ke poli tiga hari lagi,” ujar Atma pada pasien remaja itu sambil membereskan alat hechting bekas pakai.

Setelah mencuci tangan, menulis di status pasien dan menyerahkannya pada perawat, Atma bergabung denganku di meja bundar, tempat dokter dan perawat jaga biasa berkumpul.

“Haaah … Dasar abege. Baru bisa naik motor aja udah berani ngebut. Yang ada malah benjut!” Atma mengomel dan mencibir. Ia mencomot kue nastar dari toples di depan kami.

“Halah … Kaya kamu nggak doyan ngebut aja!” kataku sambil memukul bahunya dengan buku besar berisi laporan jaga. Refleks dia menjauhkan diri dariku dan tertawa.

“Ahahaha tapi aku kan bukan pengendara motor amatir. Udah pengalaman, Vit. Pengalaman!” katanya.

Sak karepmu.”

Kuabaikan Atma dan kulanjutkan menulis laporan jaga malam ini. Malam minggu memang bukan saat yang tepat untuk jaga malam. Karena kejadian angka kecelakaan lalu lintas cenderung lebih tinggi dibanding hari biasa. Entah apa yang menyebabkannya. Mungkin semua orang begitu bernafsu menghabiskan malam minggu. Padahal untuk malam yang katanya panjang, menurutku, seseorang tak perlu terburu-buru.

“Vit … denger-denger udah ngajuin cuti, ya?” tanya Atma.

Sejenak tanganku berhenti bergerak. Mataku berhenti pada satu titik. Dan tubuhku berhenti bernapas.

“Iya.”

“Cuti seminggu, ya?” tanyanya lagi. Dan kali ini kujawab hanya dengan anggukan ringan.

“Cuti buat apa, Vit?” tanyanya lagi.

“Liburan. Puas? Ya kalo udah tau semua ngapain pake nanya sih, Ma?”

Akhirnya kekesalanku meluap juga. Dalam hati aku merutuk dan memaki Atma yang sok ingin tahu. Tapi kekesalan terbesar adalah diingatkan tentang alasanku mengajukan cuti.

“Eh … Maaf, Vit. Nggak ada maksud ikut campur atau sok ingin tahu. I am sorry to hear … you know … your engagement cancellation,” ujarnya dengan suara lirih yang penuh rasa bersalah.

Aku merasa, saat ini, Atma memandangiku. Dan terus terang, aku tidak tahu harus memutuskan untuk bersikap bagaimana.

“Untungnya aku tau Arya itu laki-laki seperti apa sebelum terlanjur nikah, Ma,” jawabku setelah memastikan bahwa tidak ada yang mendengar percakapan kami.

Aku tidak bisa berbohong pada Atma. Dia adalah sahabatku sejak awal kuliah hingga kini kami terdampar sebagai dokter jaga UGD di rumah sakit yang sama. Tapi untuk urusan percintaan, kami tidak pernah mengintervensi satu sama lain. Dan aku adalah tipe orang yang tertutup untk masalah ini. Bahkan aku enggan membaginya atau sekedar berkeluh kesah pada sahabat sendiri.

Namun malam ini, rasanya aku memilih untuk berbagi beban dengannya. Aku tidak tahu apakah hal ini bisa membantu perasaanku yang remuk. Tapi ada sesuatu yang terasa lebih ringan setiap kali membicarakan kebusukan Arya. Setidaknya aku menganggapnya sebagai terapi untuk mempercepat pemulihan jiwa.

“Bener, Vit. Mending nyesel sekarang daripada nanti pas kalian udah nikah. Ngenes banget kalo suamimu selingkuh. Trus selingkuhannya pake acara hamil pula. Beuh!”

“Dasar kampret! Udah tau semuanya pake sok-sok nanya! Hih… Monster kepo banget sih,” omelku sambil menghantamkan buku laporan jaga berkali-kali ke pundaknya.

“Iya iya. Ampun, Dokter Vita. Semoga cuti liburanmu berhasil membenahi hatimu yang terlanjur hancur berkeping-keping.”

Udelmu bodong!”

“Ahahaha … O iya, kamu tau nggak? I’m an expert on solving puzzle.”

***

Moru – Alor – NTT
January 15th 2013

Orang Ketiga Pertama

cheating-woman

Aku memeluknya erat sebagai sambutan hangat. Dia mendaratkan kecupan sebagai jawaban. Kami berdua tidak bisa berdusta. Kami sedang jatuh cinta.

Aku tak pernah bosan mengatakan bahwa kusuka wangi tubuhnya. Dia memuji betapa cantiknya aku dalam balutan baju bermotif bunga-bunga. Kami berdua melempar senyuman. Saling menerjemahkan gejolak hati ke dalam bahasa tubuh yang bergelora.

Di dalam mobil yang bergerak, jari tangan kami bertautan. Lagu cinta dari dek musik menjadi pengiring dua raga yang jiwanya sedang mabuk asmara. Aku tak peduli. Dia tak peduli. Untuk pertama kalinya, kami sama-sama mematikan nurani.

***

Dia menghentikan mobil. Aku turun dan berlari-lari kecil, menuju seorang pria yang berdiri di bawah papan bertulisan Arrival.

“Mas Riannya akuuu… Lama nunggunya?” kataku sambil merangkul lengan pria itu dan mencium punggung tangannya. Tangan suamiku.

“Nggak, Raninya akuuu. Paling 15 menit,” jawabnya. Ia mendaratkan bibirnya di keningku. Hangat. Tapi tak membara.

Randi yang sumringah meraih koper di genggaman Rian, “Welcome home, Mas.” Lalu kedua pria itu saling berjabat tangan dan berpelukan.

Mas Rian merangkul bahuku. Kami bertiga berjalan menuju mobil, “Makasih ya, Ndi, sudah jagain mbak iparmu ini.”

Di dalam mobil yang bergerak, kami bertiga menyunggingkan senyum yang sama. Dengan arti yang berbeda.

***

Moru – Alor – NTT
January 14th 2013

Kenalan, Yuk!

image

Mungkin, aku adalah salah satu manusia yang statis di dunia ini. Menjalani hidup dalam tempo serupa, tanpa berusaha mempercepat atau terlambat. Sedang-sedang saja.

Bangun pagi, mandi, sarapan, bersolek dan berkemas. Semua kulakukan dalam ritme yang sama. Tidak naik atau turun. Termasuk mengerjakan tugas kuliah dan meluangkan waktu dengan sahabat. Semua kulakukan sesuai dengan porsinya. Tidak kurang. Tidak lebih. Stabil.

Entah apa konspirasi semesta. Pagi ini aku tiba di kampus lima menit lebih awal dari biasanya. Aku duduk di depan kedai fotokopi yang dikepung mahasiswa. Mereka semua terburu-buru. Termasuk seorang laki-laki kurus nan jangkung. Laki-laki yang senyumnya membuat hidupku terasa tidak statis. Senyum itu membuat denyut jantungku melonjak tinggi, lalu jatuh ke bumi.

Dia melirik ke arahku. Lalu tersenyum. Lihatlah, bagaimana dada ini porak poranda dibuatnya.

Laki-laki kurus nan jangkung tadi berjalan, menuju aku. Lalu duduk di sebelahku.

Tidak. Hal ini tidak boleh dibiarkan. Hidupku sudah sempurna dalam kestabilannya. Stabil yang sedang-sedang saja. Tapi senyum laki-laki kurus nan jangkung itu telah membuatku tidak puas dengan hidup yang sedang-sedang saja.

“Hei, kamu punya pulpen?” tanyanya.

Tanpa kata, kuserahkan sepucuk pulpen berwarna biru padanya. Laki-laki kurus nan jangkung itu mengeluarkan sebundel bahan kuliah dan berusaha menuliskan sesuatu di pojok kanan atasnya.

Tapi nihil. Tidak ada jejak tinta di sana. Laki-laki itu mengayun-ayunkan pulpen biru itu. Naik turun. Seakan berusaha membuat tintanya muncrat ke mana-mana. Lalu mencoba menulis lagi. Tapi tetap tidak ada satu garispun yang tergurat di sana.

“Tinta pulpennya habis ya?” tanyanya lagi. Dahinya berkerut. Matanya memandang lurus padaku.

“Hah? Eng … Nggak mungkin. Tadi masih bisa kok …” jawabku dalam kalimat yang terbata-bata.

“Nih buktinya nggak bisa.”

“Sini biar kucoba,” kataku sambil meraih pulpen itu dari tangannya.

Lalu kugoreskan pulpen itu ke telapak tanganku yang gemetar dan berkeringat. Sebuah garis terlihat. Tidak beraturan. Sama seperti gemuruh di dalam dadaku, “Ini bisa …”

Laki-laki kurus nan jangkung itu mengernyit dan memandangi goresan di telapak tanganku dengan takjub, “Kok tadi aku nyoba nggak bisa ya …”

Lalu ia menggeser bahan kuliahnya. Membuatnya berhenti tepat di depanku. Aku tidak mengerti apa maksudnya. Tapi aku terlalu gugup untuk mengalihkan wajah dan bertanya.

“Nah … Sekarang coba kamu aja yang nulis di sini,” pintanya. Suaranya tak lagi menyiratkan bingung atau heran. Aku tidak berani menebak. Tapi mungkin, dia sedang tersenyum.

Aku memberanikan diri untuk memandang wajahnya, “Nulis apa?”

“Tulis nama, alamat dan nomor telepon kamu.”

Sudah selesai sekarang. Kehidupanku yang statis telah berakhir. Kini aku ingin mencoba hidup dengan irama yang berantakan dan kocar-kacir. Seperti perasaanku pagi ini.

***

Kalabahi – Alor – NTT

January 13th 2013

Sonata No. 2 In B Flat Minor

grand_piano

Tidak ada yang lebih menyayat dari perpaduan hujan lebat di siang hari, pilihan sulit dan lagu patah hati. Di bawah sinar mentari yang membakar kulit, engkau justru merasakan dinginnya air hujan yang melumat habis hangatmu. Belum lagi dilema antara pilihan-pilihan yang semuanya bisa membunuh masa depan. Atau masa lalu. Dan alunan nada pedih yang membuatmu ingin mengiris nadi. Saat itu juga.

Itulah yang kurasakan siang ini. Hujan lebat di luar sana. Begitu hebat hingga aku tidak bisa pergi ke mana-mana. Sepuluh menit yang lalu, sebuah pesan kuterima. Pesan singkat. Pesan yang membolak-balik duniaku. Dan entah kenapa, playlist di laptop kerjaku memutar lagu Separated milik Usher. Keparat.

Dua setengah jam lagi, ada rapat penting yang harus kupimpin sendiri. Tidak dapat diwakilkan. Tetapi pesan singkat tadi juga tidak bisa kutangani melalui orang lain. Harus aku sendiri. Dilema. Hujan. Dan lagu patah hati.

“Vaya, kamu tenang dulu. Kita ketemuan di tempat biasa. Setengah jam lagi aku sampai di sana. Percayalah. Semua akan baik-baik saja.”

Aku menutup telepon. Berusaha untuk terdengar tenang di saat gemuruh mencabik-cabik hati, sungguh tidak menyenangkan. Tapi kurasa, pilihan kata dan suaraku tadi sudah cukup meyakinkan Vaya, bahwa semua akan baik-baik saja. Iya, semoga saja begitu. Karena aku sendiri pasti akan ragu jika mendengar saran atau nasehat yang ragu-ragu.

Aku sampai pelataran di Resto Classic sepuluh menit lebih awal. Kuparkir mobilku dengan serampangan. Otakku sudah tidak mampu berpikir secara benar. Langkah kakiku sudah tidak karuan. Berpacu dengan detak jantung yang berdentuman. Lup dup lup dup lup lup dup dup lup lup lup dup dup dup.

Rupanya Vaya sudah tiba. Wajahnya pucat. Bibirnya saling berpagut. Biasanya, melihat bibirnya sudah membuatku hilang akal. Tetapi siang ini, aku tidak mau akalku hilang.

“Mas… Gimana ini?” kata Vaya saat aku mendekati mejanya. Dia bahkan berdiri dari duduknya. Dan tidak bisa menyembunyikan kegelisahan.

“Kita bicarakan semuanya siang ini. Kamu sudah makan?” kataku. Sambil mengelus pelan lengannya yang gemetar. Lalu menuntunnya duduk bersamaku. Berdampingan.

“Aku ndak nafsu makan,” ujarnya sambil menggeleng dan hampir menangis.

Gawat. Aku tidak pernah suka perempuan yang menangis. Apalagi di tempat umum seperti ini. Rasanya seperti penjahat asmara yang tega membuat seorang hawa sakit hati.

Aku mengedarkan pandang dan bernapas lega. Sepi. Tidak ada pengunjung lain. Jadi aku tidak harus berpura-pura larut dalam drama siang ini.

“Oke. Aku pesankan makanan dulu ya. Kamu harus makan. Setelah itu, baru kita bicara.”

Aku bangkit dan menuju meja pemesanan. Menyebutkan dua porsi makan siang. Jemariku mengetuk-ngetuk tidak sabar. Rasanya ingin segera kuselesaikan. Tetapi tidak bisa. Harus perlahan. Tuhan tidak suka hamba yang terburu-buru. Karena akupun tidak mau, dilema ini berakhir dengan pilu.

Aku kembali ke tempat duduk kami dengan membawa satu nampan berisi makanan untuk berdua. Kemudian kami menikmati makan siang dalam diam. Sesekali kuseka bekas saus di ujung bibirnya. Cantik sekali. Perempuanku itu cantik sekali siang ini.

“Jadi… masalah ini bagaimana, Mas?” tanya Vaya. Tepat setelah suapan terakhirnya. Ia menyodorkan sebuah foto hitam putih. Cukup buram, tetapi aku tahu gambar apa yang ada di sana.

“Aku tidak mengira bahwa ini akan terjadi, Sayang. Ternyata metode kalender kita tidak tepat,” jawabku sambil menyeka mulut dengan selembar tisu. Tanganku meraih foto hitam putih itu. Bagaimanapun aku penasaran, sebesar apa janin yang ada di rahim Vaya. Ada tonjolan sebesar 5 mm, gestational sac, 4 – 6 minggu.

“Aku juga nggak. Trus aku harus gimana?” Vaya mulai panik. Sebagian dari diriku merasa, perilaku Vaya ini cukup menggelikan. Biasanya, kehamilan justru digunakan perempuan untuk mengancam laki-laki agar segera menikahinya. Tetapi tidak dengan Vaya.

“Kalo… digugurkan bagaimana?” tawarku. Hati-hati sekali. Perempuan hamil biasanya memiliki naluri keibuan yang kuat. Naluri ingin melindungi. Atau malah menjelma sebagai monster pembunuh janin karena tidak ingin kehamilan menghambat hidupnya.

“Nggak! Aku nggak mau aborsi!”

Nah. Rupanya Vaya termasuk perempuan yang pertama. Baiklah. Aku akan membuatnya semakin mudah.

“Aku akan cari cara, Sayang. Seperti yang kamu tahu, sudah lama aku ingin menceraikan istriku. Bahkan sebelum bertemu denganmu. Jika seperti ini keadaannya…”

“Cari jalan keluar! Aku nggak mau anak ini lahir sebagai anak haram!” Dan air mata Vaya tumpah sudah. Aku mencoba menenangkannya dengan memberi belaian lembut di tangannya yang basah oleh keringat.

Inilah alasannya, aku memilih Vaya sebagai selingkuhan. Terlalu polos, lugu, kadang-kadang bodoh. Jika tidak mau punya anak haram, kenapa mau diajak berhubungan haram, Vaya…

“Masalah seperti ini tidak bisa aku putuskan dengan tergesa-gesa, Sayang. Tapi yakin, aku pasti bertanggung jawab. Kamu jangan terlalu gelisah memikirkan hal ini. Kamu calon ibu. Harus kuat ya…”

Kalimat yang kuhapal sepanjang jalan tadi akhirnya keluar juga. Aku melihat, Vaya tersenyum ringan. Tawa kecilnya mulai terdengar. Dan dadaku melonggar. Menyelesaikan masalah ini dengan Vaya ternyata tidak butuh usaha banyak.

Kupeluk tubuhnya yang rapuh. Kukecup bibirnya yang basah. Aroma parfum dan rasa bibir Vaya tidak pernah berubah. Seperti sedang mengulum gula-gula rasa strawberry yang manis, dan wanginya mendesak seluruh sistem untuk meminta lebih. Aku tertawa dalam hati. Sialan. Semua dilema ini ada gara-gara aroma dan rasa strawberry. Dan mulai detik ini, aku membenci strawberry.

“Mainkan sebuah lagu, Mas,” pinta Vaya. Matanya melirik sebuah piano mewah.

“Kamu mau denger lagu apa?” tanyaku.

Vaya mendekatkan lagi tubuhnya ke arahku, “Apa saja. Dari Chopin. Lagu-lagunya selalu membangkitkan sisi romantisme bagi siapapun yang mendengarkan. Ekspresif dan penuh hasrat. Seperti rasaku buat kamu.”

Aku tersenyum mendengar permintaannya. Kugenggam kedua tangannya. Lalu beranjak, dan berjalan menuju piano hitam di tengah ruangan.

Dentingan piano menggema di restoran yang kosong ini. Nadanya jernih dan begitu intim. Senada dengan dentuman hujan di luar sana, mengiringi irama hatiku dan Vaya. Mengingatkan pada saat kami terbakar dan bercinta. Sesekali aku melempar senyum ke arah Vaya yang tampak lebih tenang. Dia membalas senyumanku, lalu meneguk habis jus tomat yang kupesankan. Hati berbunga melihatnya.

Tiba-tiba Vaya memegangi lehernya. Napasnya memendek. Dan cepat. Suaranya parau memanggil-manggil namaku. Kumainkan lagu ini dengan tempo lebih cepat. Berlomba dengan waktu yang tak lagi lama.

Tubuh Vaya mengejang. Matanya terbelalak begitu mengerikan. Lalu ia terjatuh ke lantai. Dan menggeliat-geliat seperti lintah yang disiram garam.

Baiklah. Inilah puncaknya. Tempo permainan pianoku makin menggila. Dentingan piano tidak lagi bisa didefinisikan. Hanya terdengar alunan lagu kematian yang memburu dan menderu seperti pusaran angin yang marah. Ini seperti lomba lari yang harus aku menangkan.

Tubuh Vaya melemas perlahan. Buih putih keluar dari mulutnya. Kemudian gerakan tubuhnya sirna. Dengan mata yang masih memintaku untuk memandangnya.

Vaya… Tadinya aku bangga mendengarmu menyebutkan tentang Chopin dan lagu-lagunya. Tetapi sepertinya kamu tidak tahu. Bahwa lagu yang kumainkan ini, Sonata no. 2 in B Flat Minor, adalah lagu pengiring kematian Chopin setelah dilanda patah hati. Sepuluh tahun ia merelakan cintanya hanya dihargai nomor dua. Dan Goerge Sand meninggalkan Chopin demi suami sahnya. Lalu sakit dan merana. Hingga nyawanya tiada. Seperti kamu, Vaya. Seperti kamu, yang kutinggalkan demi istri sahku.

Jariku menari tanpa jeda. Dan dua menit setelah Vaya tiada, aku mengakhiri resital tunggalku. Perfecto. Napasku melambat. Denyut jantungku tak lagi cepat. Kupejamkan mata dan menikmati harmoni yang baru saja kumainkan. Simfoni piano, hujan dan lagu kematian memang begitu sempurna.

***

Moru – Alor – NTT

December 11th 2012

Ketahuan

image

Aku mematut diri di depan cermin dan tersenyum. Pantas banyak orang tua yang menginginkan menantu seorang dokter. Karena siapapun akan menjelma jadi sosok yang gagah dengan jas sneli putih ini.

Seharusnya pasien sudah mulai berdatangan. Tetapi sudah satu setengah jam, belum ada juga yang mengetuk pintu. Aku berdiri dan mengintip dari balik tirai jendela. Sepi. Biasanya, perempuan-perempuan muda sudah berjejer di ruang tunggu. Tetapi sore ini, sepertinya aku yang harus menunggu.

Sebuah gedoran keras mengejutkanku dari lamunan. Dahiku berkerut. Tapi aku harus tetap tersenyum. Dengan santai, kubuka pintu ruang praktekku. Di depanku, berdiri tiga orang lelaki berseragam. Laki-laki terdepan mendekat dengan tiba-tiba. Kemudian memborgol tanganku.

Ups.

Rupanya praktek aborsiku sudah ketahuan.

***

Kalabahi – Alor – NTT
End of November, 2012