Posts Tagged ‘ kalabahi ’

Perjalanan Awal Tahun (Tamat)

Sabtu, 17 November 2012

Saya dan yang lain bangun cukup siang. Dan tentu saja, rasanya badan ini remuk redam. Susah berdiri, susah duduk. Pantat kram, punggung kaku.

Setelah mandi, kami segera ke restoran untuk sarapan. Anin membaca lini masa Twitter. @tika_widz menanggapi tweet @Rizki__MD yang membahas menu sarapan hotel Palm. @tika_widz berkata, bahwa biasanya menu sarapan jika tidak nasi goreng, mereka menyajikan daging rusa. Wow. Kami sedikit berharap menu hari ini adalah daging rusa.

Sesampainya di restoran, rupanya Aludin sudah datang. Kondisi pamannya masih tetap sama. Membutuhkan operasi untuk memperbaiki anus dan kandung kemihnya yang dicabik gigi buaya beberapa minggu lalu.

Baiklah. Menu sarapan pagi ini adalah soto ayam ditambah telur yang hanya separuh. Mungkin emak ayam pernah menelan silet yang tertahan di pantat sehingga telurnya keluar langsung terbelah dua. Tapi soto itu lumayan enak. Saya bahkan tidak bisa membedakan antara rasanya yang benar-benar enak atau saya yang sangat kelaparan.

Di meja makan, kami membahas tentang rencana hari ini. Pokoknya, sebelum dhuhur harus sudah keluar dari Lewoleba. Beristirahat di Lewolein, kemudian lanjut ke Wairiang.

Kami berencana ke pantai Waijarang. Awalnya kami menjadwalkan berangkat ke Waijarang sekitar jam delapan pagi. Kemudian kembali ke hotel sebelum jam dua belas siang. Menurut informasi Aludin, Waijarang letaknya dekat. Hanya 3 KM. Tapi kami tidak serta merta percaya. Karena sekali lagi, orang NTT tidak pandai menghitung jarak dan waktu. Maka pagi itu juga, kami check out dari hotel, ke Waijarang, lalu pulang ke Wairiang.

Menurut Wikipedia, Waijarang merupakan salah satu tempat wisata unggulan Lembata (http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Lembata). Lokasinya tidak terlalu sulit untuk dicari. Dari Hotel Palm, bertemu pasar, maka beloklah ke kiri. Ikuti jalan. Menurut http://www.floresbangkit.com/2012/03/indahnya-pantai-wisata-waijarang-lembata/ kondisi fisik jalan menuju Waijarang sudah bagus. Harap jangan berharap banyak. Karena bagaimanapun, pantat saya masih sering dihantam-hantamkan ke bangku motor. Tetapi kali ini, orang NTT tidak salah dalam menghitung jarak. Tiga kilometer.

Namun entah kenapa, ada saja yang membuat kami mengguling-gulingkan bola mata (apa bahasa yang pas untuk rolling eyes?). Di Lewoleba, Aludin tetap menjadi pemandu kami. Dia mengaku sering ke Lewoleba, tetapi tidak pernah ke Waijarang. Beberapa kali kami bertanya pada penduduk yang ada di sana mengenai lokasi Waijarang. Semua berkata, “Teruuus…”

Sampai pada akhirnya kami bertemu dengan dua pria yang tampaknya lebih meyakinkan. “Paman, tempat piknik ada dimana?” tanya Aludin.

“Tempat piknik apa?” paman yang ditanya malah balik bertanya. Saya menjawab, “Waijarang.”

“Su lewat, Nona…”

(hening)

Setelah mengucapkan terima kasih, kami putar balik. Tetapi tetap ada sedikit kejanggalan. Karena sepertinya tidak ada tanda atau pintu masuk atau apapun yang menunjukkan tempat bernama pantai Waijarang ini.

Akhirnya kami sampai di sebuah perumahan penduduk. Desa Waijarang. Tapi pantainya masih terus ke atas. Jika perjalanan kami dijadikan kartun, maka saat ini kami berenam sudah terjengkang. Lalu lewat seekor burung gagak yang suaranya sangat menyebalkan.

Ternyata pantai Waijarang memang tidak terlalu jauh. Tetapi pedih rasanya melihat tempat rekreasi tersebut tidak terawat sama sekali. Gerbangnya hampir roboh, pantainya kotor, dan tidak ada penjaga sama sekali. Saat itu, air laut sedang surut. Sehingga tampak karang yang tidak terlalu bagus. Dibandingkan dengan pantai-pantai di Alor, Waijarang ini jauh sekali nilainya.

Tiba-tiba Dedy berkata bahwa ada kebutuhan biologis yang harus dipenuhi. Maka dia dan Aludin pergi entah kemana (mungkin menumpang di salah satu rumah penduduk). Sedangkan saya, Maretha, Rizki dan Anin tetap di Waijarang.

Iseng-iseng, saya mengirimkan foto Waijarang ke rekan residen yang pernah bertugas di Lembata. Saya beri deskripsi, “Lautnya surut. Jelek nih…”

Dan balasannya adalah, “Wah… kamu ada di tempat yang salah, Noy. Untuk dapat view yang bagus, harus naik lagi. Naik teruuus. Terus lagiii… Coba besok datang jam empat pagi biar bisa lihat sunsetnya.”

(hening)

AAAK! Kenapa baru bilang sekarang? *tendang si residen*

Ya sudahlah… Kapan-kapan ke sana lagi. Lagipula, menurut keterangan @tika_widz, laut Waijarang banyak buayanya.

Sekitar jam sepuluh pagi, Dedy dan Aludin datang dengan membawa kelapa muda. Segar! Tapi masalah bertambah. Dedy tidak jadi buang hajat, dan saya sudah tidak tahan untuk buang air kecil. Akhirnya kami sepakat menuju hotel dan menumpang buang air di sana. Kemudian jalan pulang. Saya sudah kehilangan minat mencari alas kaki yang lebih layak untuk digunakan ke acara resepsi di Wairiang. Biar sudah sandal jepit saja. Anggap saja saya ini pelancong yang tidak ada persiapan (padahal dalam hati dilema).

Kami meninggalkan Lewoleba sekitar jam setengah dua belas siang. Sekitar jam satu kami sampai di Lewolein. Beristirahat dan makan siang (tidak lupa main kartu). Nafsu bermain poker saya menghilang. Rasanya ingin rebahan sebentar saja. Rupanya saya mulai kehilangan kemampuan menghitung waktu. Karena ternyata saya terbangun pada jam setengah tiga sore. Setelah mengucapkan selamat tinggal untuk dua hari ke depan via Twitter dan status BBM, kami melanjutkan perjalanan ke Wairiang yang tidak terjamah sinyal.

Sesampai di persimpangan Balauring, Aludin mengajak kami untuk melewati jalan yang berbeda dari jalan berangkat kemarin. Lewat pesisir. Katanya, kondisi jalan di pesisir lebih baik. Jujur, saya tidak berharap ‘lebih baik’ ini adalah suatu pernyataan yang memiliki perbedaan signifikan.

Kondisi jalan memang lebih baik. Dalam artian lebih sedikit aspal yang terlepas. Namun pemandangan pesisir begitu indah. Setidaknya mata saya dimanjakan meskipun pantat dan tulang belakang sangat tersiksa.

Sekitar sejam perjalanan, kami menghadapi kerumunan manusia di sebelah mesin pengebor batu yang sangat besar dan bising. Oke. Apakah itu artinya kami harus jalan memutar? Melihat rombongan motor yang hendak lewat, kerumunan manusia itu tidak ada inisiatif untuk memberi jalan. Sama sekali. Dalam kondisi lelah dan penat, rasanya ingin meledak saja. Apalagi telinga seakan mengalami Noise Induced Hearing Loss mendengar suara gemuruh batu yang dibor.

Saya harus turun dan berjalan kaki. Karena sangat berisiko melewati jalan setapak itu berdua. Samping kanan kami adalah mesin pengebor yang mengerikan. Dan samping kiri kami adalah jurang yang langsung menghadap ke laut.

Setelah melewati jalan tersebut dengan selamat, kami melanjutkan perjalanan. Beberapa kali Aludin menawarkan untuk berhenti dan berfoto. Tetapi saya sangat ingin bertemu dengan air dan kasur. Sudah. Teruskan saja perjalanan pulang ini.

Sekitar jam setengah lima sore, kami sampai di Wairiang dengan selamat. Nafas memanas karena ditempa debu dan udara yang membakar sepanjang jalan. Tenggorokan begitu kering. Mungkin saat itu saya bisa menghabiskan seliter air putih.

Kami segera meletakkan ransel dan menuju kamar mandi, berharap ada air yang bisa digunakan untuk mandi. Percuma. Hanya cukup untuk berwudhu saja. *sigh*

Beginilah perjalanan tiga hari yang cukup panjang jika diceritakan. Di Wairiang, kegiatan kami hanya sebatas makan, mandi (jika ada air), sholat, main kartu, makan, cari sinyal untuk sekedar sms, ngobrol dengan calon pengantin perempuan (yang saking stressnya mengalami dyspepsia syndrome), main kartu, makan, mandi (jika ada air), dan sebagainya.

Senin 19 November 2012 jam 15.00 WITA, kami kembali ke Baranusa. Masih dengan kapal Bintang Diana. Kami lebih banyak istirahat dan tidur di atas kapal. Tanpa tahu bahwa malam harinya kami disiksa sakit perut dan diare yang membabi buta. Rupanya sarapan kami bermasalah. Menu resepsi di Minggu malam yang disajikan kembali membuat kami menderita Traveller’s diarhea.

Saya dan Maretha sempat was-was karena Selasa pagi kami harus kembali ke Kalabahi dengan menunggangi (lagi) Bintang Diana selama sekitar tiga jam. Tapi beruntung perut kami tidak berulah selama perjalanan. Dan lagi-lagi, kami disuguhi atraksi lumba-lumba yang begitu genit di tengah laut.

Demikian cerita perjalanan awal tahun Hijriyah yang cukup mengesankan. Jika ditanya apakah saya berniat kembali ke Lembata, jawabannya adalah, “Mungkin.” Menurut keterangan calon pengantin perempuan di Sabtu malam, bupati Lembata sedang membenahi fasilitas jalan utama untuk mempermudah akses dari daerah satu ke daerah lain. Mungkin jika kondisi jalan Lembata sudah lebih baik, mungkin jika ada kesempatan, mungkin jika teman perjalanannya menyenangkan, mungkin saya akan kembali.

(habis)

***

Kalabahi – Alor – NTT

November 23rd 2012