Posts Tagged ‘ dido ’

Fin [… but not the end]

Kegiatan menulis #30HariLagukuBercerita sudah berakhir.

Seru.

Saya follow @PosCinta sudah sejak lama. Sering mondar-mandir blognya untuk sekedar membaca postingan yang keren. Tapi untuk ikut menulis, saya belum berani.

Proyek menulis selama 30 hari sepertinya terlalu melelahkan buat saya (pada saat itu). Sekitar satu atau dua tahun lalu, saya pernah ditantang di bulan Oktober, membuat satu cerita atau surat setiap hari. Tapi saya mundur. Alasannya simpel, ndak ada waktu. Bagaimana mungkin bisa konsisten untuk membuat sebuah karya yang penuh kata tiap hari? Apalagi selama ini saya tidak pernah membuat tulisan fiksi. Ide tidak bisa keluar dengan semena-mena. Dia muncul kapan saja. Tapi buat saya, tidak setiap hari.

Di akhir bulan Agustus, setelah @PosCinta mengumumkan akan ada proyek menulis #30HariLagukuBercerita di bulan September. Saya mulai menimbang-nimbang lagi. Sebagai orang yang mengaku ‘suka musik’, banci menyanyi dan sering menyombongkan skor saat berkaraoke di Inul Vista, harga diri saya mulai terusik. Hey, kenapa tidak? Hampir setiap hari saya menggembar-gemborkan betapa musik bisa mempengaruhi hidup, hati dan jalan hidup. Lalu mengapa sekarang tidak ditambah, “musik itu menginspirasi”? (Eh… bukannya sama aja, Chil? Ya pokoknya gitu…)

Oke. Saya ikut. Tidak peduli apakah nanti stok ide itu habis di tengah jalan. Atau kata-kata saya tersendat karena memang kurang banyak membaca. Atau rangkaian kata yang saya sajikan tidak menggetarkan karena kurang kreatif meraciknya. Atau koneksi internet di Alor yang naik turun seperti dada orang yang menanti ajal. Saya ikut proyek ini.

Diawali dengan sebuah skenario khayalan yang sudah lama bertengger di otak saya, tentang putus asa dan harapan, saya memulai kisah tentang Biana VS Gema. Bagi saya, proses menemukan kembali sebuah harapan itu tidak mudah. Menggulingkan hati yang sudah beku karena tidak berani berharap dan tersungkur di keputusasaan itu sangat berat. Entah itu tentang cita-cita maupun cinta. Merangkak naik lebih berat daripada berjalan dan berlari. Tubuh kita harus bisa melawan gravitasi. Kedua tangan kita harus kuat menggenggam tebing yang tajam dan menyakitkan. Kaki kita harus pandai memijak bebatuan yang bisa tergelincir setiap saat. Dan mata kita terarah ke satu titik, berusaha melekatkan cahaya di sensoris, meneruskannya ke sistem berpikir kita dan memerangkapnya erat-erat sebagai motivasi juang.

Lalu apa yang terjadi saat kita mampu mencapai tebing harapan? Sebagian dari kita, mungkin akan duduk sejenak dan menikmati udara sebanyak-banyaknya. Tubuh kita akan meminta paru-paru untuk bernafas sebebas-bebasnya. Mata kita terpejam, menikmati semilir angin yang mendinginkan pipi penuh luka. Kepuasan itu tidak bisa dideskripsikan. Kepuasan itu hanya kita yang rasakan. Seperti Biana yang menemukan harapan pada Gema (meski pada akhirnya mereka ‘dibunuh’). Biana sendirilah yang bisa memahami rasanya. Bahkan penulisnya pun tidak bisa ikut merasakan (lha?).

Sama seperti kepuasan saya saat ‘bisa menulis lagi’. Saat ada berita bahwa Multiply akan ditutup, saya kembali mengunjungi blog saya, dan terkejut saat mendapati banyaknya postingan blog saya di situ. Bahasanya memang kacau balau, seperti dibuat dengan terburu-buru karena minimnya waktu saat koass dan banyaknya kejadian-kejadian unik saat itu. Tapi saya tidak peduli. Saya tetap menulis. Dan menyampaikan isi kepala saya yang berantakan itu pada khalayak ramai. Dan kebahagiaan tersendiri saat akhirnya saya bisa meramu lagi kata-kata yang sempat terbelenggu menjadi satu tulisan yang bisa dibaca orang lain. Entah itu bagus atau tidak. Saya kembali menulis. Dan itu menjadi satu titik tolak. Saya harus kembali belajar menuang kata dan mengukirnya hingga isi hati dan pikiran saya bisa tersampaikan dengan baik.

Sesekali, saya mencoba menulis tentang ‘cinta yang tidak tersampaikan’. Sang Penyembuh adalah debutnya. Apa sih yang ndak lebih menyakitkan dari hati yang menaruh harapan pada sesuatu yang tidak ada? Rasanya cuma bisa bengong, menikmati sendiri desiran di dalam hati tanpa ada yang bisa diajak berbagi. Tapi rupa-rupanya, cerita ini setengah absurd (pffftt…). Sebenarnya banyak sekali ide imajiner yang melayang-layang di dalam kepala. Dipengaruhi dari karya fiksi yang selama ini saya baca, baik dari lagu, komik, novel atau film. Tapi ternyata imajinasi saya selama ini masih belum cukup oke untuk dituangkan dalam barisan kata. Sekali lagi. Saya harus belajar.

Dan memang paling dapet ‘feel’nya jika menuliskan sesuatu yang dialami sendiri. Berasa kawin dengan diri sendiri. Seperti Walk On Fire. Meski pada akhirnya masih ada kekurangan di sana-sini, karena ide yang masih mentah dan disajikan sebelum dibumbui dengan pas, tapi ada sesuatu yang membuat saya berpikir, bahwa dengan menulis, kita bisa berbagi cerita dengan orang lain (yah… memang aslinya cerewet sih. Mau gimana lagi :p ).

Ruang 23 adalah satu cerita yang paling banyak mendapat komentar. Sebagian besar protes karena terlalu datar. Jujur, saya sendiri merasa demikian hehehe… Tapi saya terharu mengetahui bahwa ternyata tulisan saya layak baca. Meski itu sederhana dan kacau di sana-sini, tetapi dengan adanya kritikan, saya semakin semangat untuk mengembangkan kekayaan ide, imajinasi dan ramuan bahasa yang saya punya.

Harga Mati adalah satu tulisan yang spontan. Ide itu tiba-tiba meletup saat mengingat sebuah sms mantan gebetan jaman sekolah (tsaaah…) yang mengatakan bahwa, “Saya ndak pernah membayangkan datang ke rumahmu untuk mengantar istri yang akan melahirkan.” Oke. Ini bisa jadi tagline cerita tentang perselingkuhan (note: saya tidak pernah jadi selingkuhan gebetan saya itu #dijelasin).

Fireworks adalah sebuah cerita yang selama ini mengganggu pikiran saya yang terinspirasi dari beberapa serial Korea, dimana karakter perempuan berpura-pura menjadi laki-laki, dan si laki-laki kemudian jatuh hati dan bimbang tentang orientasi seksualnya sendiri. Bukan berarti saya bingung dengan orientasi saya (peluk @TomFelton). Tapi saya membayangkan, bahwa orang-orang dengan orientasi seksual yang ‘berbeda’, mungkin pada awalnya ada sebuah penyangkalan dalam dirinya. Ketakutan dan perang batin, menjadi mimpi buruk selama berhari-hari, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun. Mungkin seperti itu. Dan entah kenapa, saya ikut merasa sedih ketika ada orang-orang yang tidak bebas menjadi dirinya sendiri saat jatuh cinta. Seperti kata Ryan (bukan dari Jombang. Tapi karakter fiksi di cerpen saya), “Tidak peduli kamu laki-laki, alien atau setan, aku mencintaimu.” Ya… Seharusnya cinta bisa sesederhana itu bukan?

Makin lama, saya bisa ‘melihat’, ternyata banyak ide yang bisa dikembangkan. Banyak sekali. Bahkan dari gombalan konyol yang sering dilontarkan di Twitter (Happily Ever After), dari mimpi seorang sahabat saat dia terobsesi pada idolanya yang beda agama, atau dari satu kalimat Sumpah Dokter yang pernah saya ucapkan beberapa tahun lalu (cerpen yang ini belum saya post. Bhihihiks). Pada intinya, banyak hal ‘remeh temeh’ yang bisa dijadikan sumber inspirasi dan pembelajaran. Bukan sekedar untuk dijadikan ide tulisan, tapi bisa lebih dari itu.

September tahun ini sudah berakhir, tapi mudah-mudahan semangat saya tidak ikut padam seperti Gerakan 30 September PKI (mulai garing). Selamat berkumpul bagi para pecinta kata di acara gathering @PosCinta – Bandung. Salam hangat dari Alor – Nusa Tenggara Timur (sebuah kepulauan dengan pantai-pantai yang keren #PromosiTerselubung). Mudah-mudahan, lain waktu saya bisa ikutan mejeng bareng, wahai penulis-penulis keren (cium jauh).

Akhirnya, saya berterima kasih pada @PosCinta atas proyek #30HariLagukuBercerita di bulan September ini. Istilahnya, proyek ini mampu membuka lagi ide-ide yang selama ini terabaikan dalam lembar-lembar gyrus otak saya. Benar-benar bikin September makin ceria (dan juga karena cerita saya pernah masuk jadi cerita pilihan –meski cuma- dua kali ihihihi). Terima kasih pada @gembrit dan @sunoesche yang saya mensyen tiap tiga hari sekali, terima kasih sudah mau membaca tulisan saya yang masih berupa tunas. Semoga selanjutnya saya rajin siram-siram dan kasih pupuk (wide grin). Mohon kritik dan sarannya :’)

Terima kasih untuk @si_nu dan @Mpiit, dua sahabat yang menjadi kritikus tulisan-tulisan saya. Maap yeee udah maksa-maksa untuk baca mwahahahaha (5S ~ Sun Sing Suwi Sampe Semaput). Dan terima kasih buat semua yang mau mampir ke blog saya (peluk cium buat yang perempuan, virtual hug buat yang laki-laki). Jangan bosen datang ke noichil.tumblr.com yaaa :*

And I want to thank you

For giving me the best day(s) of my life

***

[Thank You – Dido]

September 29th 2012

Kalabahi – Alor – NTT 

Harga Mati

Baru kali ini aku datang ke klinik ini. Dan aku adalah pasien terakhir di malam itu. Suamiku, Teguh, masih setia menemani. Duduk di sebelahku dengan menyesap teh hangat yang disediakan klinik dan membolak-balik majalah politik. Perawat memanggil namaku. Aku dan Teguh berpandangan dan bertukar senyum serta cemas. Tidak sabar untuk segera berkonsultasi dengan dokter.

Kami masuk ke sebuah ruangan berukuran 4×4 meter. Dindingnya dihiasi oleh wallpaper berwarna hijau muda yang lembut dengan motif sulur tumbuhan yang segar. Terdapat sebuah sofa panjang nyaman berwarna hijau tua, sebuah meja kecil dan sebuah kursi beroda untuk dokternya. Dokter kandungan perempuan yang dulunya adalah teman SMA suamiku.

***

Ny. Kara. Pasienku yang terakhir. Dari catatan medis yang ada di tanganku, perempuan ini belum pernah datang sebelumnya. Menikah sudah 4,5 tahun, belum memiliki anak, lalu kemudian terlambat datang bulan selama dua minggu. Hatiku berdesir. Entah kenapa. Mungkin karena tiga malam ini, aku selalu bermimpi tentang lelaki yang menjadi cinta pertamaku. Di mimpi itu, ia terihat bahagia bersama istri dan anaknya. Berlibur di sebuah pulau yang tenang dan menikmati kebersamaan mereka. Di mimpi itu, aku hanya jadi bagian dari orang yang pernah dicintai, dari masa lalu. Dan aku benci melihatnya.

Pintu ruanganku terbuka, lalu masuklah seorang perempuan muda, mungkin 4 atau 5 tahun lebih muda dariku. Rambutnya dikuncir kuda, mengenakan mini-dress selutut berwarna lembayung, manis sekali. Seorang laki-laki yang sebaya denganku, mengikuti istrinya di belakang. Duniaku berhenti berputar. Laki-laki itu adalah Teguh. Teguh yang ku kenal dulu. Teguh yang pernah jadi aktor dalam hari-hariku.

Aku berdiri dan menyalami pasienku dan mempersilakan mereka untuk duduk nyaman di sofa. “Selamat malam. Dari catatan medis yang saya terima dari perawat di meja terima… Sepertinya malam ini ada kabar baik. Bukan begitu?” tanyaku dengan riang, sebuah mode default yang selalu aktif secara otomatis saat menghadapi pasien-pasienku. Siapa yang pernah menduga, bahwa dalam ruangan ini, perasaanku cukup terintimidasi. Pikiranku melayang pada mimpi semalam. Rupanya ini alasannya. Sial.

“Iya, Dok. Saya terlambat haid. Seharusnya saya haid dua minggu yang lalu. Dan tadi pagi saya cek urin dengan alat yang saya beli di apotek, rupanya positif. Lalu suami mengajak saya untuk periksa ke sini.” jawab Kara dengan semangat. Pandanganku beralih pada Teguh, yang saat itu sibuk menyembunyikan senyum yang dibuat-buat. Teguh mengajak istrinya ke sini?

“Oh. Suami saya ini bilang, dr. Maria adalah teman SMAnya dulu,” ujar Kara. Hatiku mencelos. Bagus.

“Ah iya… Teguh dan saya memang sekelas selama tiga tahun di SMA. Sudah lama sekali tidak ketemu, jadi tadi saya ragu untuk ragu dan berakrab-akrab ria hehehe…” aku mengumpat dalam hati. Sistem kerja otakku sepertinya kacau malam ini. Otak, mulut, dan hati, semuanya diadu dalam satu panggung, ruang praktekku sendiri.

“Jadi, ada keluhan apa selama ini?” tanyaku.

“Ehm… Sepertinya belum ada, Dok. Saya belum merasa apa-apa. Nafsu makan juga bagus. Tidak mual atau sebagainya. Makanya saya ragu apakah alat tes kehamilan itu akurat,”

“Gejala kehamilan seperti mual atau pusing tidak terjadi pada semua ibu. Beruntunglah jika Ibu Kara tidak mengalaminya. Jadi suaminya juga ndak pusing, tho?” Aku memandang wajah mereka yang cerah dan saling pandang. Jari-jariku gemas meremas flipchart yang ada di tanganku. Aku harap ada seorang pencari bakat di sini. Lihat, aku bisa berakting dengan begitu meyakinkan. “Oke. Yuk ke tempat periksa, biar saya USG dulu.”

Kara segera beranjak dan berjalan menuju tempat tidur periksa yang berada di seberang sofa. Setelah berbaring, aku duduk di sampingnya, membuka baju Kara sampai sebatas dada, dan menutup tubuh bagian bawah Kara dengan selimut. Aku mengoleskan cairan bening dan dingin berbentuk gel ke perut bagian bawah Kara, “Mari kita liat calon pemimpin ini,” kataku sambil tersenyum.

Aku memutar-mutar probe USG di atas area pubis Kara sambil memperhatikan layar di depanku. Sedangkan Kara dan suaminya, bisa melihat gambar USG dari televisi yang sudah tersambung pada alat USG di depanku. “Jika menghitung dari hari pertama haid terakhir, usia kandungan Kara sekarang sekitar 4-6 minggu. Nah… Kalo di USG, yang terlihat paling dominan masih penebalan dinding rahim. Dan ini…” kataku, sambil mengarahkan pointer USG pada sebuah tonjolan kecil di sisi kanan rahim Kara, “ini adalah kantong hasil pembuahan, besarnya embrio kira-kira 5 mm.”

Wajahku menoleh dan melihat betapa bahagianya Kara saat itu. Tangannya segera meraih jari-jari Teguh dan menggenggamnya dengan lembut. Ah… Jari-jari itu pernah mengisi ruang di sela jariku. Dan jantungku bergemuruh, saat Teguh memberikan kecupan di kening istrinya. Kecupan yang pernah jadi milikku. Setidaknya sampai sehari yang lalu.

I know you think that I shouldn’t still love you, or tell you that

***

Rupanya alat tes kehamilan itu benar. Tuhan, aku bahagia. Kehadiran anak adalah satu hal yang kami nanti selama hampir lima tahun pernikahan. Aku memandang layar televisi yang menampilkan isi rahim Kara dengan haru. Perasaan rindu membuncah, ada sebagian dari aku di sana.

Ku genggam erat tangan Kara. Lalu mataku bertemu dengan mata Maria. Dan sejenak ada perasaan pedih dan terluka di sana. Sebagian dari hatiku ikut merasakannya. Juga rasa berdosa.

***

Dokter Maria menyerahkan gambar hasil USG itu padaku. Aku memandangnya dengan mata yang hampir basah karena bahagia, “Akhirnya… Setelah hampir lima tahun kami menikah. Saya tidak bisa menggambarkan kebahagiaan ini, Dok.”

“TIdak perlu diungkapkan pada saya. Berbahagialah dengan menjaga malaikat kecil itu,” kata dr. Maria.

Aku mengenang bagaimana pedihnya saat pertanyaan tentang anak semakin sering dilontarkan oleh orang-orang. Bagaimana perilaku suaminya semakin murung meski berusaha disangkalnya. Bagaimana ngerinya berbagai ketakutan menghantui saat mengetahui ada pesan bernada mesra di ponsel suaminya, dari seseorang bernama Jingga.

Tapi kini, mungkin ini adalah awal baru menuju bahagia. Bagiku, Teguh dan bayi kami. Semoga begitu.

***

“Maaf, Jingga. Aku tidak pernah bermimpi datang seperti itu, membawa istriku yang sedang hamil padamu.”

“Apa maafmu bisa mengganti rasa cemburuku tadi?”

“Aku mohon pengertianmu.”

“Aku bisa mengerti saat kamu ingin putus saat aku sekolah spesialis. Kamu bilang, kamu ingin seorang istri yang tidak terlalu sibuk. Dan aku tidak keberatan menjadi perempuan lain di kehidupanmu saat kamu bilang, tidak bahagia dengan istrimu yang kamu bilang kuno dan sebagainya. Bahkan aku mau menunggu saat kamu bilang akan menceraikan istrimu jika ia tidak juga memberikanmu keturunan. Lalu tadi… tadi itu seperti hukuman, Guh! Aku hampir mati berdiri. Kamu sengaja datang secara tiba-tiba, seolah-olah memberikan sebuah harga mati buatku.”

“Sebenarnya, itu yang ingin aku bicarakan. Aku mau, cinta kita cukup sampai di sini.”

I understand if you can’t talk to me again

And if you live by the rules of “it’s over”

then I’m sure that that makes sense

Kepalaku pening.

Selama ini, kebutaanku atas cinta pada Teguh membuatku menjadi perempuan paling berdosa. Mengabaikan perasaan istrinya, menepis kenyataan bahwa istrinya juga perempuan yang punya ego terhadap apa yang jadi miliknya. Tapi egoku sebagai perempuan juga berkata demikian. Teguh adalah milikku. Tidak pernah terlintas dalam pikirku akan berpisah dari Teguh. Teguh adalah cinta pertamaku, sejak SMA sampai sekarang. Cinta yang menggebu-gebu, cinta yang tidak lenyap meski telah ada seseorang yang telah menyandang nama Ny. Teguh. Cinta yang berani mengambil risiko. Cinta yang naif, percaya bahwa cinta pertama tidak pernah mati. Cinta pertama dibawa sampai mati.

“Kamu barusan bilang apa, Guh? Aku ndak ngerti.”

“Aku yakin semua sudah jelas, Maria. Aku pernah jadi bagian darimu. Bahkan sampai sekarang. Tapi aku sadar, ini seperti cinta yang dipaksakan. Aku cinta kamu, Maria. Tapi saat melihat gambar anakku di dalam rahim Kara, duniaku berubah. Ada sesuatu yang harus aku perjuangkan, bukan hatiku sendiri. Aku mau menjadi bapak yang baik bagi anakku.”

Pandanganku menjadi gelap. Kepalaku seperti dihantam godam yang amat berat. Perutku mual, dan aku menangis sejadi-jadinya. Teguh sudah berhenti memanggilnya Jingga. Hati kecilku merutuk, mengingatkan bahwa hal seperti ini akan terjadi. Otakku yang selama ini berlogika tentang cinta telah gagal membaca hati yang terluka karena cintaku dan Teguh.

Tapi bagaimana dengan anakku, Guh? Jari-jariku lemas, test pack dengan dua garis merah terlepas dari sela-selanya, jatuh ke lantai, membuat gaduh malam yang gelap dan sepi.

I will go down with this ship

And I won’t put my hands up and surrender

I’m in love and always will be

***

[Dido – White Flag]

Kalabahi – Alor – NTT

September 15th 2012