Reuni

image

“Sekolah ini sudah banyak berubah, ya…”

Aku memutar tubuhku lalu bergeming sesaat. Mulutku menganga. Ini adalah dua detik terlama.

I haven’t seen you in ages
Sometimes I find myself wondering where you are

“Hei, Ar! Kukira kamu nggak datang. Apa kabar?” seruku sambil menyodorkan tangan.

Arya menyambut tanganku dengan jabatan yang membuat senyumku berhenti mengembang dan kenangan masa lalu kembali berlalu lalang. “Baik. As always. Kamu apa kabar, Ri?” tanyanya.

“As you see. I’m fat,” ujarku dengan tangan yang membuat gerakan melebarkan badanku sendiri.

Arya menahan gelaknya, “Tapi kamu tetap cantik.”

Dan seperti yang lalu-lalu, pujian Arya membuat duniaku serasa berhenti berputar. Selama beberapa saat, jantungku berdebar hebat. Mungkin, wajahku memerah. Buru-buru kusesap es buah yang sudah habis airnya, lalu memutar-mutar sendok kecilnya di antara potongan buah nanas dan semangka.

Kucoba menenangkan diri dengan menggerak-gerakkan kaki seiring irama lagu. Kepalaku bergoyang-goyang. Dan perlahan telingaku mulai menangkap lirik lagunya. Kugumamkan lagu Tak Bisa Ke Lain Hati milik Kla Project yang sedang melantun di seluruh aula sekolah ini.

Tunggu.

Kenapa harus lagu ini? Rasanya aku ingin menumpahkan sepanci es buah pada siapapun yang menjadi panitia acara ini.

“Lagu yang provokatif. Menurutku, sih,” bisiknya sambil memasukkan potongan brownies ke dalam mulutnya.

Aku merapikan anak rambut yang mengganggu pandangan dan mengulum senyum. Aku teringat pada masa SMA, ketika kami sedang dipeluk cinta. Dan lagu ini adalah pengiring perjalanan yang kami kira untuk selamanya.

“Hmmm… Not for me,” timpalku.

Arya menengadahkan kepala. Dahinya berkerut. Matanya mencari-cari tanda akan sesuatu di dalam kalimatku yang mungkin tidak ia mengerti. Arya salah tingkah.

“Oh, maaf. Kukira …rasa yang sama di antara jabat tangan kita itu… Ah sudahlah. Mungkin hanya aku.”

Buru-buru ia mengunyah sisa brownies yang tinggal seperempat. Aku terkekeh melihatnya. Arya sama seperti dulu, selalu berusaha melenyapkan kegusaran dengan memenuhi mulutnya dengan makanan.

“Nggak. Kamu nggak salah mengartikannya, Ar. Rasanya tetap sama seperti dulu.”

Entah ada apa dengan semesta. Tiba-tiba jemari kami saling bertaut. Memagutkan kenangan dan rindu yang sejak tadi sudah meletup dengan terburu-buru.

Iya. Rasanya tetap sama. Meski hitungan tahun sudah berlalu sepuluh kali, rasanya tetap sama. Adrenalin yang menghentak-hentakkan jiwa muda. Ada jantung yang memburu ketika aku membolos pelajaran Fisika demi bisa mengintipnya bermain basket. Ada isi perut yang diaduk ketika ia menggenggam tanganku dengan diam-diam di barisan kelas kami yang berdampingan saat upacara bendera. Ada senyum yang tak bisa luntur ketika pertama kali ia mengecup pipiku di hari kasih sayang.

For me you’ll always be eighteen and beautiful
And dancing away with my heart

“Keadaannya yang berbeda. Kita bukan lagi remaja sepuluh tahun lalu yang masih berseragam putih abu-abu,” bisiknya. Ibu jari Arya mengelus punggung tanganku.

Aku tersenyum. Wajah Arya pun turut menyunggingkan lengkung yang sama. Senyum yang melepaskan. Sama seperti aku. Malam ini, kami sama-sama membebaskan untuk kesekian kali.

Kulepaskan genggaman tangan Arya. Lagu sudah berganti. Dan rasanya sudah seharusnya memori rindu ini diakhiri.

Tiba-tiba ada wangi yang sangat kukenal. Lalu pemiliknya menjulurkan tangan, memeluk pinggangku dari belakang dan mengelus-elus perutku yang sedang hamil tujuh bulan. “Yang, pulang duluan nggak masalah, kan?” pinta Rian.

Aku menoleh dan mendapati wajahnya membengkak. Kulitnya memerah. “Astaga! Pasti nekat makan udang, deh!” pekikku sambil memukul lengannya.

“Minum ini dulu aja,” ujar Arya sambil menyerahkan selembar obat antihistamin yang, aku tahu, selalu ia bawa kemana-mana.

“Hehehe terima kasih, Ya. Abis udang asam manisnya menggoda,” kekeh Rian ketika menerima obat tadi. Arya mengangguk-angguk dan tersenyum. Aku memalingkan muka. Sepertinya kami sedang memikirkan hal yang sama. Entah bagaimana ceritanya. Tapi Arya dan Rian adalah dua lelaki yang sama-sama alergi pada udang.

“Ya udah, kami pulang duluan. Makasih obatnya, Ya…” ujarku sambil tersenyum. Kurangkul lengan Rian. Kubiarkan hanya suamiku yang berjabat tangan dengan Arya sebagai tanda perpisahan.

“Oke. Sampe ketemu lagi. Hati-hati di jalan,” kata Arya.

“Tengkyu, Ya. Gue harap kalo ketemu lagi, lo udah ada yang nemenin. Jangan lupa undangannya,” bisik Rian pada Arya dengan nada bercanda.

Wajah Arya canggung. Pipiku pias. Seiring dengan langkahku dan Rian yang menjauh, segera kulupakan pesan singkat Arya beberapa minggu yang lalu. Pesan yang berkata ‘Kutunggu jandamu’.

***

Dancin’ Away With My Heart – Lady Antebellum
Kalabahi – Alor – NTT
March 10th 2013

  1. hahaha gak baik ih endingnya ntar ngedoain suaminya mati kekenyangan makan udang 😀

  2. uhuk~
    ku tunggu jandamu kekekkeke
    nakalll

  3. kutunggu jandamu… hahaha, persis tulisan di belakang bak truk yang pernah aku temui dalam perjalanan madiun-surabaya beberapa waktu lalu 😀

  1. No trackbacks yet.

Leave a reply to noichil Cancel reply